Search

Home / Kolom / Jeda

Yang Tidak Perlu Dikejar

Podiumnews   |    05 September 2025    |   20:45:00 WITA

Yang Tidak Perlu Dikejar
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

HIDUP hari ini kerap terasa seperti jalanan penuh lomba lari. Di kiri ada yang berlari dengan mobil baru, di kanan ada yang memamerkan rumah megah. Dari layar ponsel, parade pencapaian tak ada hentinya: wisuda anak, liburan mewah, sertifikat penghargaan, bahkan menu makan malam yang ditata layaknya pesta. Dalam deras arus itu, kita sering lupa bertanya: apakah semua yang tampak itu memang perlu kita kejar?

Sejak lama orang Bali sudah punya pengingat: nyikut dewek, nyarengin awak. Ukur dirimu sendiri, sesuaikan langkah dengan kemampuanmu. Ungkapan ini lahir dari kebijaksanaan keseharian: sawah tidak dipaksa menghasilkan lebih dari musimnya, perahu tidak dipaksa menantang ombak yang melampaui kekuatannya. Hidup dijalani sesuai takaran.

Kini, nasihat itu terdengar semakin langka. Banyak orang muda rela berutang demi gawai terbaru, pesta ulang tahun yang meriah, atau liburan singkat hanya agar bisa menulis “escape” di media sosial. Keinginan terlihat berhasil sering melampaui kemampuan diri. Yang dikejar adalah pengakuan—yang didapat justru lelah, resah, dan cicilan panjang.

Sejarah dunia sebenarnya sudah memberi teladan. Mahatma Gandhi memilih hidup yang jauh dari gemerlap. Ia mengenakan kain khadi sederhana, menenun sendiri pakaiannya, berjalan kaki menempuh puluhan kilometer dalam perjuangan. Falsafahnya ringkas, tapi menohok: simple living, high thinking. Hidup sederhana, berpikir luhur. Kekuatan moralnya tidak lahir dari apa yang dipakai dan ditimbun, melainkan dari keberanian untuk melepaskan yang berlebihan.

Pesan Gandhi dekat dengan kebijaksanaan Bali. Nyikut dewek bukanlah pasrah atau menyerah pada nasib. Ia adalah keberanian untuk jujur pada batas. Tidak semua hal perlu dimiliki, tidak semua harus dipamerkan. Yang kita simpan sering lebih berat daripada yang kita lepaskan. Dan yang kita pamerkan kadang hanya menutupi kekosongan yang enggan kita hadapi.

Filsuf Stoik, Epictetus, mengingatkan: kebahagiaan dan kebebasan berawal ketika kita paham ada hal-hal yang berada di dalam kendali kita dan ada yang tidak. Kita tidak bisa mengendalikan apa yang orang pikirkan tentang kita, apa yang mereka unggah, atau seberapa cepat orang lain berlari. Kita bisa mengendalikan cara menakar diri, cara memilih yang perlu dan menyingkirkan yang mubazir.

Rabindranath Tagore menulis: jangan menangis karena matahari tenggelam; air mata membuat kita tak melihat bintang. Dalam hidup yang gemar mengejar, nasihat itu mengajak kita menengadah: berhenti meratapi yang lewat, agar bisa melihat yang masih mungkin kita syukuri. Ada bintang yang hanya tampak saat kita mematikan lampu sorot keinginan.

Lalu, apa sebenarnya yang tidak perlu dikejar?

Ketenaran—jika membuat kita kehilangan jati diri.
Kekayaan berlebih—jika hanya menambah resah.
Pengakuan—jika sekadar topeng untuk menutupi luka.

Sebaliknya, ada hal-hal yang sering datang ketika kita berhenti mengejarnya: ketenangan, rasa cukup, dan kebahagiaan sederhana. Seperti tidur nyenyak—ia tidak tiba saat kita memaksanya, melainkan ketika beban pikiran kita kendurkan.

Di Subak, para petani tahu kapan tanah harus istirahat. Mereka tidak menanam tanpa henti. Ada musim jeda, karena kesuburan lahir dari keseimbangan. Hidup pun demikian. Jeda bukan tanda kekalahan, melainkan cara menjaga agar perjalanan tetap utuh. Dengan berhenti sejenak, kita melihat bahwa sebagian yang kita kejar hanyalah gema, bukan suara.

Nyikut dewek juga soal menata ulang ukuran sukses. Tidak semua orang perlu rumah besar, pangkat tinggi, atau panggung luas. Bagi sebagian orang, sukses adalah bisa pulang tepat waktu, menemani keluarga, tetap sehat, tetap jujur. Ada yang menempuh jarak jauh untuk dipuji, ada yang cukup melangkah pendek untuk mengerti. Yang pertama sibuk diperhatikan; yang kedua memilih memperhatikan.

Gandhi menunjukkan bahwa kesederhanaan bukan mengecilkan diri. Ia justru membesarkan ruang batin untuk keberanian dan cinta kasih. Bali mengingatkan agar takaran hidup disesuaikan dengan kekuatan diri. Dua pesan dari ruang berbeda, bertemu di satu titik: hidup bukan tentang berlari lebih cepat dari orang lain, melainkan tentang melangkah jujur sesuai kemampuan diri.

Di era perbandingan ini, ingatan paling penting mungkin sesederhana ini: tidak semua cahaya harus kita kejar. Kadang, cahaya yang paling menenangkan justru lahir dari dalam—dari kesadaran bahwa apa yang kita miliki hari ini, betapapun sederhana, sudah cukup untuk membuat kita berdiri tegak.

Hidup tidak selalu tentang siapa yang paling sibuk mengejar. Hidup adalah tentang siapa yang paling berani berhenti, menoleh ke dalam, dan berkata: ini cukup. (*)

Menot Sukadana

Baca juga :
  • Jalan Hidup yang Saya Pilih
  • Ruang Kecil, Langkah Panjang
  • Ketabahan yang Sering Terlupakan