AROMA kedelai yang tengah difermentasi menyambut siapa saja yang melintas di Jalan Pulau Sugara, Kelurahan Kampung Baru, pesisir Pantai Taman Sari. Di balik rumah-rumah padat warga, berdiri usaha tempe sederhana yang menjadi denyut kehidupan keluarga Hairudin (57). Usaha ini sudah dijalani sejak tahun 1970, diwariskan dari sang ayah. “Saya sudah dari muda ikut bantu orang tua bikin tempe. Sampai sekarang tetap saya lanjutkan,” tutur Hairudin, Jumat (5/9/2025). Ia tetap menjaga cita rasa tradisional, bahkan melibatkan enam tetangga sebagai pekerja. Tiga orang membantu produksi tempe, tiga lainnya mengolah tahu, produk sampingan kedelai. Tradisi yang Bertahan Dulu, tempe Hairudin dibungkus dengan daun pisang yang menebarkan aroma khas alami. Kini, bungkus plastik menjadi pilihan utama karena lebih praktis. Namun sebagian besar proses tetap manual, diwariskan turun-temurun. Proses pembuatan dimulai dari merendam, merebus, mengupas kulit kedelai, lalu mengeringkan sebelum dicampur ragi. Menariknya, Hairudin masih menggunakan dua jenis ragi: instan dan alami dari pohon waru. “Kalau cuaca cerah, tempe cepat jadi. Kalau mendung, saya tambah raginya,” jelasnya. Setiap hari, Hairudin memproduksi sekitar 100 kilogram tempe. Pasarnya beragam, dari warga sekitar hingga pedagang pasar yang membeli dalam jumlah besar. Ia juga melayani pesanan online, bahkan pernah mengirim hingga Lovina dan Bebetin. Harga jualnya pun terjangkau: ukuran kecil Rp4.000, sedang Rp7.000, dan besar Rp9.000. Optimisme Warisan Keluarga Bagi pelanggan tetap seperti Ketut Eti, tempe buatan Hairudin memiliki rasa khas. “Tempe Pak Hairudin itu beda rasanya, lebih gurih dan awet. Saya sudah coba beli dari tempat lain, tapi tetap balik lagi ke sini,” katanya. Lingkungan Buleleng yang mendorong pertumbuhan UMKM turut memberi ruang bagi usaha rumahan ini bertahan. Data Pemkab Buleleng mencatat jumlah usaha kecil meningkat dari 9.576 pada 2020 menjadi 12.107 pada 2024. Pemerintah juga rutin memberi pelatihan melalui Disdagperinkop UKM. Namun, bagi Hairudin, keberhasilan tak semata soal angka. “Saya ingin usaha ini tetap jalan, jangan sampai berhenti di saya. Ini warisan keluarga,” ujarnya. Di tengah derasnya arus modernisasi, tempe Hairudin menjadi bukti bahwa tradisi bisa tetap hidup. Lebih dari sekadar makanan, ia adalah kisah kerja keras, kesederhanaan, dan cinta keluarga yang diwariskan lintas generasi. (adi/sukadana)
Baca juga :
• Desa Bali di Tanah Mandar Menuju Desa Wisata
• Nikita Shilametsa, Investor yang Peduli Kelestarian Bali
• Jaje Senggait: Manis Gurih Kebanggaan Singaraja