Search

Home / Kolom / Jeda

Ahimsa dalam Perlawanan Gandhi

Podiumnews   |    06 September 2025    |   17:50:00 WITA

Ahimsa dalam Perlawanan Gandhi
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

NAMA Mahatma Gandhi selalu dikenang sebagai simbol perlawanan tanpa kekerasan. Ia adalah tokoh yang menunjukkan kepada dunia bahwa keberanian tidak selalu hadir dalam bentuk senjata, melainkan dalam kesediaan menanggung penderitaan tanpa membalas. Dari jalan panjang yang ditempuhnya, India menemukan kemerdekaan, dan dunia menemukan inspirasi.

Gandhi lahir pada 2 Oktober 1869 di Porbandar, Gujarat, dari keluarga Hindu yang sederhana. Sejak kecil, ia sudah diajarkan nilai disiplin dan spiritualitas. Pada usia 19 tahun, Gandhi berangkat ke London untuk belajar hukum. Kehidupannya di Inggris membuatnya mengenal cara hidup Barat, tetapi justru semakin memperdalam keyakinannya pada nilai kejujuran, kesederhanaan, dan keteguhan moral. Setelah lulus, ia sempat kembali ke India, namun karier hukumnya tidak berkembang. Kesempatan datang ketika ia ditawari pekerjaan di Afrika Selatan.

Di Afrika Selatan, Gandhi menyaksikan sendiri betapa kerasnya diskriminasi terhadap orang India. Ia pernah dipaksa keluar dari kereta karena menolak pindah dari kelas yang diperuntukkan bagi orang kulit putih. Pengalaman pahit itu menjadi titik balik. Gandhi mulai berjuang melawan diskriminasi, bukan dengan kekerasan, tetapi dengan kesabaran dan keberanian. Di sinilah lahir konsep satyagraha — kekuatan yang berpegang teguh pada kebenaran. Ia menegaskan, “kekuatan tidak lahir dari kemampuan fisik, tetapi dari kemauan yang tak tergoyahkan.”

Friedrich Nietzsche pernah menulis, “barang siapa memiliki alasan untuk hidup, ia akan mampu menanggung hampir segala cara untuk hidup.” Kutipan ini menemukan maknanya dalam sosok Gandhi. Ia memiliki alasan yang jernih: kemerdekaan India tanpa kehilangan martabat kemanusiaan. Dengan alasan itu, ia menanggung penjara, ejekan, dan tekanan, tanpa pernah berpaling dari jalan kebenaran.

Ketika kembali ke India pada 1915, Gandhi membawa semangat perjuangan baru. Ia menyadari bahwa rakyat India harus membangun kekuatan moral dan spiritual, bukan hanya kekuatan politik. Tiga ajaran utama ia jadikan fondasi. Pertama adalah ahimsa, atau jalan tanpa kekerasan. Bagi Gandhi, kekerasan hanya akan menimbulkan balas dendam yang tak berujung. Dengan menolak kekerasan, manusia justru menegakkan martabatnya. Gandhi menegaskan, “kebencian tidak pernah bisa dihentikan dengan kebencian, hanya cinta yang bisa melakukannya.”

Albert Einstein pernah berkata tentang Gandhi, “generasi yang akan datang hampir tidak akan percaya bahwa seorang manusia seperti dia pernah berjalan di muka bumi ini.” Kalimat itu bukan sekadar pujian, melainkan pengakuan atas kekuatan moral Gandhi yang jarang ditemui dalam sejarah.

Kedua adalah satyagraha, atau kekuatan kebenaran. Gandhi mengajak rakyat untuk menolak tunduk pada hukum yang tidak adil melalui aksi damai. Aksi mogok, boikot, dan demonstrasi dilakukan tanpa senjata. Bagi Gandhi, berpegang pada kebenaran jauh lebih kuat daripada pedang.

Ketiga adalah swadeshi, atau kemandirian. Gandhi melihat ketergantungan pada produk Inggris sebagai bentuk perbudakan. Ia menenun benang sendiri, mengenakan kain khadi, dan mengajak rakyat melakukan hal yang sama. “Kebebasan sejati tidak mungkin tercapai jika kita masih bergantung pada orang lain untuk kebutuhan dasar kita,” katanya.

Filsuf Tiongkok kuno, Lao Tzu, pernah menulis, “yang lembut mengalahkan yang keras, yang lemah mengalahkan yang kuat.” Inilah yang diperlihatkan Gandhi. Ia melawan kolonialisme Inggris dengan kelembutan hati, tetapi pada akhirnya menggerus kekuasaan yang tampak tak tergoyahkan.

Salah satu momen monumental adalah Salt March tahun 1930. Inggris memonopoli produksi garam dan mengenakan pajak tinggi terhadap rakyat. Gandhi menolak ketidakadilan ini dengan cara sederhana: ia memimpin ribuan orang berjalan kaki sejauh hampir 400 kilometer menuju laut untuk membuat garam sendiri. Aksi damai ini menjadi simbol perlawanan rakyat India. Dunia tercengang melihat bagaimana sesuatu yang kecil seperti garam bisa mengguncang imperium besar. Gandhi berkata, “dengan cara yang lembut, engkau bisa mengguncang dunia.”

Albert Camus, filsuf Prancis, pernah mengingatkan, “satu-satunya cara menghadapi dunia yang tidak bebas adalah menjadi begitu bebas sehingga keberadaanmu sendiri menjadi sebuah bentuk perlawanan.” Gandhi membuktikan kalimat ini. Kebebasannya lahir dari keberanian menolak untuk membenci.

Perlawanan Gandhi tidak hanya menggugah rakyat India, tetapi juga menyentuh hati banyak orang di dunia. Gerakan tanpa kekerasan ini menarik perhatian internasional dan menekan Inggris. Meski berkali-kali dipenjara, Gandhi tidak pernah berhenti. Bagi Gandhi, penderitaan adalah bagian dari jalan menuju kemerdekaan.

Akhirnya, pada 15 Agustus 1947, India memproklamasikan kemerdekaan. Meski proses politik dipenuhi pertentangan dan disertai pembagian India–Pakistan yang berdarah, ajaran Gandhi tetap menjadi fondasi moral bangsa. “Kebebasan tidak bernilai jika tidak memberi kita kebebasan untuk berbuat salah,” ujarnya. Kalimat ini menegaskan bahwa kemerdekaan berarti keberanian mengatur diri sendiri, lengkap dengan risiko dan kesalahannya.

Kehidupan Gandhi berakhir tragis. Pada 30 Januari 1948, ia ditembak mati oleh seorang fanatik di New Delhi. Namun ajarannya tidak ikut mati. Martin Luther King Jr. terinspirasi darinya untuk memperjuangkan hak-hak sipil di Amerika. Nelson Mandela menjadikannya rujukan dalam menentang apartheid di Afrika Selatan. Dari berbagai belahan dunia, nama Gandhi terus hidup sebagai simbol moral.

Hari ini, kita mungkin tidak lagi berhadapan dengan kolonialisme seperti dulu, tetapi penjajahan dalam bentuk lain masih ada. Kebencian yang merajalela, intoleransi yang menyulut api, dan kekerasan yang mewarnai kehidupan sehari-hari adalah wajah baru dari penindasan. Di sinilah ajaran Gandhi tetap relevan. Ahimsa bisa hadir dalam kesediaan menahan diri, dalam memilih kata-kata yang bijak, dalam keberanian berpihak pada kebenaran meski sunyi.

Dan barangkali benar pesan Gandhi yang paling terkenal: “jadilah perubahan yang ingin engkau lihat di dunia.” Sebuah kalimat sederhana, tetapi begitu dalam. Perubahan besar tidak lahir sekaligus. Ia dimulai dari keberanian kecil, dari tindakan sehari-hari, dari hati yang memilih untuk tetap manusiawi. (*)

Menot Sukadana

Baca juga :
  • Jalan Hidup yang Saya Pilih
  • Ruang Kecil, Langkah Panjang
  • Ketabahan yang Sering Terlupakan