Banjar untuk Masa Depan
BANJAR di Bali bukan sekadar bangunan sederhana yang berdiri di tengah desa atau perumahan adat. Ia adalah denyut nadi kehidupan sosial, tempat masyarakat bertemu, bermusyawarah, melatih gamelan, menata tari, dan menyiapkan upacara. Dari banjar, kebersamaan menemukan bentuk paling nyata: gotong royong, ngayah, dan solidaritas. Identitas Bali yang kolektif menemukan ruang hidupnya di balai banjar.
Dalam lintasan waktu, banjar terbukti lentur. Ia tidak hanya menghidupi tradisi, tetapi juga merespons perubahan zaman. Ketika kesenian modern masuk, banjar tidak menolaknya, melainkan memberi ruang bagi kreativitas anak-anak muda yang memainkan musik band di sela latihan gong kebyar. Ketika desa memerlukan forum komunikasi warga, banjar menjadi ruang rapat dan konsensus. Banjar adalah ruang publik Bali yang hidup, bukan sekadar bangunan fisik.
Kini, gagasan menjadikan banjar sebagai tempat bimbingan belajar Bahasa Inggris memperlihatkan babak baru fungsi banjar. Di tengah kenyataan bahwa Badung hidup dari pariwisata, kemampuan berbahasa internasional adalah bekal yang tak bisa ditunda. Anak-anak desa yang sejak kecil berlatih menabuh dan menari di banjar, kini juga bisa belajar bahasa asing di tempat yang sama. Simbol yang lahir sederhana ini sejatinya mengandung makna besar: banjar sebagai ruang pendidikan masa depan.
Bahasa Inggris menjadi salah satu keterampilan kunci yang akan menentukan daya saing generasi muda Bali. Bukan karena mengikis budaya, tetapi justru sebagai cara menjaga eksistensi budaya itu sendiri. Bagaimana mungkin seni, adat, dan tradisi Bali bisa dipahami dan diapresiasi oleh dunia jika generasi muda tak mampu menjelaskannya dengan bahasa yang dipahami wisatawan maupun komunitas global? Maka, kemampuan berbahasa adalah jembatan antara akar tradisi dan panggung dunia.
Program bimbel Bahasa Inggris di banjar juga menjawab masalah akses. Tidak semua keluarga memiliki kemampuan ekonomi untuk mengirim anak-anaknya ke lembaga kursus berbayar di kota. Banjar, dengan posisinya yang dekat dan menyatu dengan kehidupan warga, menjadikan pendidikan tambahan ini inklusif. Ia menghadirkan kesetaraan: anak-anak di pelosok desa mendapat peluang yang sama dengan mereka yang tinggal di pusat pariwisata.
Tentu, tantangan akan muncul. Kesiapan tenaga pengajar, kelengkapan sarana, serta kesinambungan program menjadi faktor penentu. Jangan sampai program ini berhenti sebagai slogan atau sekadar kegiatan seremonial. Pemerintah daerah harus menyiapkan instrumen yang jelas: kurikulum sederhana, pelatihan guru, hingga dukungan anggaran berkelanjutan. Lebih jauh, kolaborasi dengan universitas, lembaga kursus, maupun komunitas bisa memperkaya praktik di lapangan.
Namun, sekali lagi, banjar bukan sekadar soal pemerintah. Kekuatan banjar ada pada masyarakatnya. Jika warga, orang tua, dan anak-anak menyadari manfaat bimbel ini, banjar akan menjadi pusat energi baru. Dari banjar lahir generasi yang tidak hanya piawai ngayah di pura, tetapi juga percaya diri berbicara dengan bahasa dunia. Dari banjar tumbuh anak-anak yang tidak tercerabut dari budayanya, tetapi juga tidak terasing dari realitas global.
Bali selalu berdiri di antara tradisi dan modernitas. Tantangannya adalah menjaga harmoni di tengah arus besar perubahan. Menghadirkan bimbel Bahasa Inggris di banjar adalah salah satu cara konkret menjaga keseimbangan itu. Tradisi tetap hidup: gamelan, tari, dan upacara tidak tergantikan. Namun, generasi muda juga dibekali senjata baru untuk memasuki masa depan.
Dalam konteks yang lebih luas, inisiatif ini seharusnya menginspirasi desa-desa lain di Bali. Jika banjar bisa menjadi pusat kesehatan masyarakat, pusat seni, sekaligus pusat pendidikan tambahan, maka fungsi sosial banjar akan semakin relevan dengan zaman. Di saat ruang publik di banyak tempat tergerus oleh komersialisasi, banjar tetap berdiri sebagai ruang milik bersama.
Masa depan Bali tidak bisa dipertahankan hanya dengan nostalgia terhadap masa lalu. Kita membutuhkan langkah-langkah inovatif yang tetap berakar pada nilai budaya. Program bimbel Bahasa Inggris di banjar adalah contoh bagaimana akar dan ranting bisa tumbuh seimbang: akar tradisi tertanam kuat di tanah, sementara ranting menjulur mencari cahaya dunia.
Menjaga banjar sebagai pusat adat sekaligus membuka banjar sebagai ruang pendidikan adalah komitmen bersama. Dari banjar, Bali dapat menemukan cara baru untuk tetap tegak di panggung global tanpa kehilangan jati diri. Banjar bukan hanya tempat kita berkumpul hari ini, tetapi juga jembatan menuju masa depan. (*)