TAK pernah terbayang oleh Athanasia Gusanto, gadis sederhana asal Buleleng, bahwa langkah kecilnya sebagai anak pedagang warung di pinggiran kota bisa membawanya ke salah satu universitas terbaik dunia. Atha, begitu ia akrab disapa, kini bersiap menempuh pendidikan S2 di University of Edinburgh, Skotlandia, kampus elite yang masuk jajaran 10 besar dunia. Perjalanan itu bukan tanpa lika-liku. Lahir pada Juni 2003, Atha tumbuh dalam keterbatasan ekonomi. Namun tekadnya untuk maju justru kian menyala. Ia menuntaskan kuliah S1 di Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) hanya dalam waktu 3,5 tahun dengan predikat cumlaude. Sebagai penerima beasiswa Kartu Indonesia Pintar – Kuliah (KIP-K), ia membuktikan bahwa mahasiswa dari keluarga sederhana pun mampu bersaing di level global. “Target saya memang setelah S1 harus lanjut S2. Entah di dalam negeri atau luar negeri, yang penting saya maju,” ujar Atha saat dihubungi, Minggu (7/9/2025). Dengan keberanian penuh, ia mendaftarkan diri ke lima universitas ternama di Inggris. Tak disangka, seluruhnya menerima aplikasinya, termasuk kampus impiannya: University of Edinburgh. Lebih mengejutkan lagi, tawaran beasiswa penuh justru lebih dulu tiba sebelum surat penerimaan resmi. Semua biaya kuliah, akomodasi, hingga kebutuhan sehari-hari ditanggung universitas. “Saya sampai bingung, kok beasiswanya malah datang duluan,” kenangnya sambil tersenyum. Perjalanan Atha dipenuhi prestasi. Ia dikenal aktif dalam dunia debat, sering menjuarai lomba di tingkat kampus hingga nasional. Ia pernah menjadi delegasi di National University Debating Championship, melatih siswa-siswa sekolah ternama di Bali, bahkan terjun di dunia pageant kampus dengan gelar Regem Regina dan Putri Undiksha. Namun di balik semua capaian itu, jalan hidupnya tidak selalu mulus. Untuk membiayai hidup sekaligus membantu ibu dan adiknya, Atha menjadi guru les privat dan penerjemah lepas. Dan ketika kabar bahagia diterima kampus impian datang, cobaan berat pun menghampiri: sang ayah meninggal dunia sebelum sempat menyaksikan pencapaian putrinya. “Kepergian ayah justru jadi motivasi saya untuk melangkah lebih jauh dan mengangkat derajat keluarga. Saya yakin beliau bangga, meski berada di dunia berbeda,” ucapnya lirih. Kini, Atha tengah bersiap menempuh studi Master of TESOL (Teaching English to Speakers of Other Languages) di University of Edinburgh. Ia berencana tetap mengajar secara daring dan mengambil kerja paruh waktu selama studi. Lebih dari sekadar menimba ilmu, ia memimpikan untuk pulang dan mendirikan pusat belajar bagi anak-anak dari keluarga sederhana di Buleleng. “Kalau saya bisa, anak-anak lain juga pasti bisa. Saya ingin jadi bukti nyata bahwa pendidikan itu bisa mengubah segalanya,” tutup Atha dengan penuh keyakinan. (adi/sukadana)
Baca juga :
• Ruang Kelas dan Janji Pemulihan
• Dari Pesisir Buleleng Menuju ITB
• Ketut Suastika Usulkan Ruang Kelas Baru Atasi Kisruh PPDB