DENPASAR, PODIUMNEWS.com - Fenomena warna dalam penyampaian aspirasi publik di Indonesia belakangan ini menghadirkan makna baru. Dua warna pink dan hijau kini tidak hanya sekadar penanda visual, melainkan telah berubah menjadi simbol perlawanan yang sarat makna kultural, gender, hingga politis. Hal itu disampaikan Prof Diah Ariani Arimbi SS MA PhD, Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) sekaligus pakar Kajian Budaya dan Gender Universitas Airlangga (UNAIR). Menurutnya, warna adalah teks yang selalu berbicara dalam konteks sosial. “Pink yang dulu dilekatkan pada pekerjaan feminin, kini diapropriasi menjadi brave pink. Ia tampil sebagai simbol keberanian, terutama lewat kehadiran ibu-ibu dalam demonstrasi. Pink tidak lagi sekadar feminin, tetapi resisten dan politis,” ungkap Prof Diah melalui siaran pers, Senin (8/9/2025). Berbeda dengan pink yang banyak diasosiasikan dari Barat, hijau memiliki akar lokal. Dalam folklor Jawa, hijau erat dengan kesuburan, kekuatan, dan kekuasaan spiritual. “Dalam konteks sekarang, hijau diasosiasikan sebagai hero green. Kehadiran para driver ojek online berseragam hijau dalam aksi solidaritas, hingga tragedi yang menimpa salah seorang pengemudi, memperkuat hijau sebagai simbol heroisme rakyat kecil,” jelasnya. Prof Diah menambahkan, masyarakat kini hidup di era visual, di mana warna bekerja lebih cepat dan universal dibanding simbol lain. Fenomena brave pink dan hero green dalam ruang daring maupun aksi jalanan mencerminkan lahirnya praktik demokrasi digital yang memanfaatkan bahasa visual. Ia mengingatkan, efektivitas warna sebagai simbol perlawanan sangat ditentukan oleh daya tahannya. “Jika publik merawat makna ini, ia bisa menjadi simbol abadi. Jika tidak, cepat tergantikan. Apropriasi ini mengingatkan kita bahwa arti simbol visual tidak pernah statis. Mereka lahir, berubah, dan berfungsi sesuai konteks yang melingkupinya,” pungkasnya. (riki/sukadana)
Baca juga :
• Kecam Israel, Dubes RI dan Negara-negara OKI di Rumania Gelar Aksi Solidaritas
• DPR Ingatkan Penanganan Kasus Ferry Irwandi Harus Proporsional
• Tuduhan Makar Tanpa Bukti Bisa Jadi Legitimasi Represi