Search

Home / Kolom / Jeda

Giliran yang Hilang

Podiumnews   |    09 September 2025    |   19:27:00 WITA

Giliran yang Hilang
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

SUATU malam di sebuah minimarket kecil, deretan orang mengular di depan kasir. Di tangan mereka ada roti, sabun, botol minuman, dan token listrik. Semua tampak tenang menunggu, sampai seseorang tiba-tiba menyelip sambil berkata singkat, “Cuma beli rokok, sebentar saja.” Seketika wajah-wajah yang diam itu berubah. Giliran yang mestinya adil, lenyap begitu saja.

Antrian di kasir seharusnya sederhana: siapa datang lebih dulu, dia yang dilayani lebih dulu. Namun kenyataannya, urutan itu sering dianggap hanya formalitas. Kita sering menemui orang yang merasa lebih penting daripada yang lain, sehingga merasa sah untuk melompati giliran. Dari ruang kecil bernama kasir minimarket, kita bisa membaca betapa rapuhnya penghormatan kita terhadap hak orang lain.

Friedrich Nietzsche pernah menulis, “Hal-hal kecil, jika diulang terus-menerus, menyingkapkan hal-hal besar.” (Beyond Good and Evil, 1886). Kutipan itu menjadi cermin di depan kasir. Jika dalam urusan sekecil menunggu dua atau tiga orang saja kita tidak sabar, bagaimana kita bisa berharap pada disiplin dalam urusan publik yang lebih besar—lalu lintas, birokrasi, atau tata kota?

Ada semacam budaya tak tertulis di negeri ini: yang cepat adalah yang benar, yang duluan adalah yang berhak. Padahal, antrian justru mengajarkan sebaliknya: giliran adalah hak, dan hak itu lahir dari kesabaran. Setiap orang yang rela menunggu gilirannya sebenarnya sedang menjaga martabat bersama. Ia menahan diri, tidak hanya demi dirinya, tetapi juga demi orang lain.

Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract (1762) menulis, “Setiap orang menyerahkan hak-haknya kepada masyarakat keseluruhan, sehingga setiap orang tunduk pada kehendak umum.” Menunggu di antrian adalah wujud kecil dari itu. Kita menyerahkan ego untuk dilayani cepat, demi terciptanya keteraturan yang adil bagi semua. Bayangkan jika semua orang merasa lebih penting, giliran akan hilang—dan yang tersisa hanyalah keributan.

Namun di lapangan, yang kita lihat sering sebaliknya. Orang bisa sibuk memelototi layar ponsel sambil berdiri, tapi begitu ada celah sedikit saja, ia langsung maju tanpa menoleh. Kesadaran bahwa ada orang lain di sekitar seakan lenyap. Kita terbiasa menjadi “manusia terburu-buru”, selalu ingin duluan, bahkan di ruang-ruang kecil.

Socrates pernah berkata dalam pembelaannya di pengadilan Athena, “Hidup yang tak diperiksa adalah hidup yang tak layak dijalani.” (Plato, Apology). Kalimat itu sering dipahami sebagai ajakan untuk menimbang diri dalam segala hal, bahkan perkara sepele. Jika ditarik ke ruang kasir minimarket, artinya sederhana: periksa dirimu, jangan biarkan tergesa-gesa menghapus giliran orang lain. Menunggu giliran, sesungguhnya, adalah bentuk paling sederhana dari hidup yang diperiksa.

Masalahnya, kita hidup dalam suasana sosial yang seakan mendorong orang untuk melompati giliran. Dalam politik, orang berebut kursi dengan segala cara. Dalam lalu lintas, orang menyalip seenaknya. Di kasir minimarket, budaya itu terbawa: “asal aku lebih cepat, tak soal orang lain.”

Antrian, meskipun sederhana, adalah cermin: apakah kita benar-benar memahami arti kesetaraan. Karena di sana tidak peduli siapa kita—guru, pejabat, buruh, atau mahasiswa—semua punya kedudukan yang sama di depan kasir. Satu-satunya hukum yang berlaku adalah urutan kedatangan. Ketika hukum kecil ini kita abaikan, sebenarnya kita sedang meruntuhkan fondasi keadilan dalam skala besar.

Bahkan dalam tradisi Jawa ada ungkapan, alon-alon asal kelakon—pelan-pelan asalkan terlaksana. Pepatah itu seolah kehilangan tempat di tengah zaman yang serba tergesa. Padahal, dalam konteks antrian, maknanya terasa relevan: menjaga giliran dengan tertib lebih berharga ketimbang buru-buru yang merusak tatanan.

Kalau kita mau jujur, antrian di kasir minimarket hanyalah contoh kecil dari kegagalan kita membangun kesabaran kolektif. Kita terbiasa menganggap ketidakdisiplinan sebagai hal lumrah. Padahal dari ketidakdisiplinan kecil itu lahirlah masalah besar: jalan macet, pelayanan publik semrawut, bahkan ketidakpercayaan antarwarga.

Giliran mestinya menjadi latihan sederhana bagi masyarakat untuk belajar menempatkan diri. Menunggu bukan berarti kalah. Menunggu berarti sadar bahwa kita bukan satu-satunya yang punya kepentingan. Bahwa di dunia ini ada orang lain yang haknya sama dengan kita.

Di akhir hari, mungkin kita hanya ingin cepat sampai rumah, makan malam, atau sekadar istirahat. Tapi hidup bersama bukan semata soal kecepatan, melainkan tentang keadilan. Martin Luther King Jr. dalam Letter from Birmingham Jail (1963) menulis, “Ketidakadilan di mana pun adalah ancaman bagi keadilan di mana pun.” Menyebalkan memang jika ada yang menyerobot giliran di depan kita. Tapi lebih menyebalkan lagi jika kita ikut melakukannya dan menganggap itu hal biasa.

Giliran yang hilang di kasir minimarket mungkin tampak remeh, tetapi di situlah nilai-nilai besar diuji. Apakah kita rela menunggu? Apakah kita mau mengakui orang lain sebagai setara? Atau kita masih percaya bahwa yang berhak duluan adalah yang paling nekat?

Mungkin kita tak perlu menunggu perubahan besar di parlemen atau istana. Cukup mulai dari depan kasir minimarket, di tempat di mana wajah masyarakat tercermin begitu jujur. Kalau kita bisa menjaga giliran di sana, siapa tahu kita juga bisa lebih adil dalam hal-hal yang lebih besar. (*)

 Menot Sukadana

Baca juga :
  • Ruang Kecil, Langkah Panjang
  • Ketabahan yang Sering Terlupakan
  • Genangan dan Ingatan Kota