BANJIR yang merendam 43 titik di Kota Denpasar pekan ini bukanlah semata-mata bencana alam. Ia adalah teguran yang menyelinap di antara riuh hujan, arus Tukad Badung yang meluap, dan keluhan para pedagang Pasar Kumbasari yang melihat dagangan hanyut terbawa air. Kita sedang diingatkan, sekali lagi, bahwa kota ini rapuh menghadapi perubahan cuaca ekstrem, dan bahwa manusia, dengan segala kebijakannya, tidak bisa menunda lebih lama untuk berbenah. Denpasar adalah pusat denyut Bali. Ia bukan sekadar ibu kota provinsi, melainkan jantung dari perputaran ekonomi, perdagangan, dan aktivitas sosial. Maka ketika Pasar Kumbasari lumpuh, ketika Jalan Sulawesi tergenang hingga merusak toko-toko tekstil, ketika warga di Jalan Pura Demak harus dievakuasi dengan perahu karet, maka yang terguncang bukan hanya pedagang, bukan hanya warga di bantaran Tukad Badung, tetapi seluruh sistem kota yang seharusnya menjadi simbol keteraturan dan tata kelola. Pemerintah memang bergerak cepat. Gubernur Bali Wayan Koster bersama Walikota Denpasar turun langsung meninjau lokasi, memastikan dana Belanja Tidak Terduga (BTT) cair untuk menutup kerugian material. Ratusan personel TNI diturunkan membersihkan sampah dan membantu evakuasi. Santunan bagi korban meninggal dunia disiapkan. Dari sisi respons tanggap darurat, langkah-langkah itu patut diapresiasi. Namun editorial ini ingin mengingatkan, bahwa sesungguhnya banjir di Denpasar bukanlah cerita baru. Ia berulang, semakin sering, semakin parah. Kita sering menyalahkan cuaca, hujan yang tak berhenti, atau kapasitas sungai yang terbatas. Padahal, dalam setiap luapan Tukad Badung, kita juga melihat potret nyata betapa masalah sampah, tata ruang, dan pembangunan yang abai pada daya dukung lingkungan menjadi penyumbang utama. Keluhan warga yang disampaikan langsung di hadapan Gubernur tentang sampah di sungai adalah alarm keras. Sebab di balik tumpukan plastik yang menyumbat aliran air, ada persoalan kolektif yang gagal kita atasi: budaya buang sampah sembarangan, lemahnya pengawasan, dan minimnya infrastruktur pengelolaan. Editorial ini ingin menegaskan bahwa banjir tidak bisa lagi dipandang sekadar peristiwa tahunan yang ditangani dengan pembersihan dan bantuan darurat. Banjir harus menjadi momentum untuk merancang strategi besar: membangun kota yang lebih tahan bencana, menata ulang sistem drainase, mempertegas regulasi tata ruang, dan melibatkan warga secara aktif. Denpasar harus menyiapkan peta jalan adaptasi perubahan iklim, bukan hanya rencana jangka pendek setelah air surut. Tukad Badung, yang sejak lama menjadi nadi kota, kini berubah menjadi ancaman setiap kali hujan lebat mengguyur. Sungai ini bukan hanya butuh normalisasi, tetapi juga perawatan jangka panjang. Ruang-ruang resapan air yang terus berkurang, pembangunan di bantaran sungai yang dibiarkan, serta minimnya kawasan hijau membuat Tukad Badung kehilangan kemampuannya meredam arus. Tanpa keberanian politik untuk menertibkan pembangunan yang melanggar aturan, banjir akan terus menjadi tamu tetap setiap musim hujan. Selain tata ruang, aspek sosial juga penting. Perubahan perilaku masyarakat tidak bisa dicapai dengan seruan moral semata. Pemerintah Kota Denpasar bersama komunitas harus memperkuat sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi, menyediakan sarana yang memadai, serta menegakkan aturan dengan tegas. Kesadaran warga tidak bisa tumbuh di ruang kosong, ia lahir dari kombinasi edukasi, fasilitas, dan penegakan hukum. Di sisi lain, banjir di Denpasar juga menguji ketangguhan ekonomi rakyat kecil. Pedagang tekstil yang melihat stok barang rusak, pedagang pasar yang kehilangan modal, hingga warga yang rumahnya terendam adalah wajah-wajah riil dari kerentanan ekonomi. Bantuan BTT yang dijanjikan pemerintah memang penting, tetapi lebih dari itu, kita butuh mekanisme perlindungan sosial yang berkelanjutan. Ketika bencana datang, rakyat kecil tidak seharusnya selalu menjadi pihak yang paling hancur. Editorial ini memandang bahwa banjir di Denpasar adalah peringatan untuk seluruh Bali. Pulau ini sedang menghadapi risiko iklim yang semakin nyata. Hujan ekstrem, banjir, dan longsor akan semakin sering datang. Menyikapi kondisi ini, kita memerlukan kepemimpinan yang tidak hanya reaktif tetapi juga visioner. Kehadiran Gubernur di lapangan memang memberi pesan bahwa pemerintah ada di sisi rakyat. Namun yang lebih penting adalah memastikan bahwa setelah banjir surut, ada perubahan nyata dalam perencanaan kota dan tata kelola lingkungan. Denpasar tidak boleh dibiarkan menjadi kota yang sekadar sibuk membersihkan lumpur setelah hujan. Ia harus menjadi kota yang belajar dari bencana, menyiapkan skema mitigasi, dan menata pembangunan agar tidak lagi melukai dirinya sendiri. Banjir memang menimbulkan kerugian material, tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah bila kita kehilangan daya ingat untuk belajar dari setiap peristiwa. Bencana, pada akhirnya, adalah cermin. Ia memperlihatkan kelemahan kita, sekaligus memberi peluang untuk memperbaiki diri. Denpasar, dengan segala kemajuan dan kerentanannya, sedang diberi cermin besar oleh alam. Pertanyaannya: beranikah kita bercermin dengan jujur, lalu bertindak dengan tegas? (*)
Baca juga :
• Tata Ruang yang Lupa pada Air
• Berebut Kue Wellness
• Banjar untuk Masa Depan