Search

Home / Kolom / Editorial

Dari Kunjungan ke Perubahan

Nyoman Sukadana   |    13 September 2025    |   18:55:00 WITA

Dari Kunjungan ke Perubahan
Editorial. (podiumnews)

KUNJUNGAN Presiden Prabowo Subianto ke kawasan terdampak banjir di Denpasar patut diapresiasi. Pesan yang disampaikan jelas dan tegas. “Penanganan bencana harus cepat, tepat, dan menyeluruh,” ujarnya. Lebih penting lagi, Presiden Prabowo menekankan bahwa kerja pemerintah tidak berhenti pada fase darurat, tetapi harus berlanjut pada mitigasi jangka panjang. Inilah inti yang selama ini sering hilang dari siklus bencana kita: dari tanggap menuju tangguh.

Tiga hari sebelum kunjungan, Presiden Prabowo telah memberi instruksi agar jajaran bergerak cepat dan memastikan bantuan tepat sasaran. “Bantuan harus segera sampai dan tepat sasaran. Pastikan semua keluarga terdampak terdata dan mendapat dukungan,” katanya. Di Gang Gajahmada IV, Banjar Gerenceng, ia menyusuri gang yang masih berlumpur, mendengar langsung kronologi air masuk ke rumah, dan menegaskan prioritas kebutuhan mendesak. “Saya datang untuk melihat langsung situasi di lapangan dan memastikan kebutuhan mendesak tertangani,” ucapnya. Rangkaian pernyataan ini membentuk kerangka kerja yang benar: respons cepat, pemulihan terarah, lalu pencegahan sistemik.

Namun yang lebih menantang adalah memastikan perubahan di atas kertas menjadi perubahan di atas tanah. Presiden Prabowo telah menyebut daftar pekerjaan kunci: pembenahan dan pelebaran drainase permukiman, normalisasi alur sungai, penataan sempadan, serta peninjauan kembali tata ruang di kawasan rawan. “Kita perbaiki drainase, normalisasi sungai, dan menata kembali kawasan rawan sesuai tata ruang. Tujuannya mengurangi risiko saat musim hujan berikutnya,” tuturnya. Pernyataan ini harus diterjemahkan menjadi target terukur, jadwal jelas, dan mekanisme pengawasan yang terbuka.

Pertama, Bali memerlukan peta risiko terpadu yang menjadi rujukan tunggal lintas instansi. Bukan peta statis, melainkan sistem informasi yang memadukan data elevasi, kapasitas drainase, sempadan sungai, kepadatan bangunan, hingga titik genangan berulang. Peta ini harus ditautkan dengan perizinan. Tanpa rujukan yang sama, proyek drainase terpisah dari realitas hulu–hilir, dan penataan ruang kembali dikalahkan oleh kepentingan sesaat.

Kedua, proyek fisik harus menempatkan pemeliharaan sebagai roh utama. Drainase yang diperlebar akan kembali buntu jika tidak ada skema operasi dan pemeliharaan harian. Pemerintah daerah perlu menyusun kontrak kinerja yang mengikat operator kebersihan, mencakup frekuensi pembersihan, tolok ukur kejernihan aliran, dan respons maksimal 24 jam terhadap sumbatan. Publik harus dapat memantau itu melalui dashboard sederhana. Transparansi menciptakan disiplin.

Ketiga, penataan sempadan sungai dan kawasan rawan tidak boleh kompromistis. Bangunan yang melanggar jalur air harus ditata ulang melalui skema relokasi, insentif, atau penegakan hukum bila perlu. Moratorium izin baru di titik berisiko tinggi harus berlaku hingga ada bukti kuat bahwa kapasitas infrastruktur sudah memadai. Menunda keputusan sulit hari ini sama dengan memperbesar kerugian esok hari.

Keempat, sistem peringatan dini dan manajemen evakuasi wajib ditingkatkan. Sirene, pesan seluler darurat, dan jalur evakuasi harus diuji berkala bersama warga. Sekolah, pasar, dan tempat ibadah perlu memiliki rencana kontinjensi yang mudah dipahami. Mitigasi bukan hanya soal beton dan baja, melainkan latihan berulang yang membangun refleks kolektif ketika air naik.

Kelima, pendanaan dan akuntabilitas harus sejalan. Sumber anggaran pusat dan daerah perlu dipaketkan dalam program lintas tahun dengan tonggak jelas: 100 hari, 1 tahun, 3 tahun. Setiap capaian diumumkan, setiap keterlambatan dijelaskan. Perusahaan yang menikmati manfaat pariwisata dan pertumbuhan kota perlu ikut menanggung biaya layanan publik seperti pengelolaan sampah dan pemeliharaan drainase melalui skema kemitraan yang transparan.

Di atas semua itu, Bali memiliki modal sosial yang kuat. Nilai gotong royong dalam tradisi ngayah, logika pengelolaan air subak, serta penghormatan terhadap ruang alam dapat menjadi inspirasi penataan ulang. Program pemeliharaan saluran berbasis banjar, adopsi sempadan sungai oleh komunitas, dan edukasi kebersihan yang konsisten akan membuat infrastruktur bertahan lebih lama. Di sisi lain, industri harus memastikan hotel, restoran, dan operator tur mematuhi standar kebersihan dan pengelolaan limbah, karena pengalaman wisata yang aman dan bersih dimulai dari hal paling sederhana.

Editorial ini mendukung arah yang disampaikan Presiden Prabowo, tetapi dukungan itu bukan cek kosong. Pemerintah akan dinilai dari keberanian mengeksekusi hal yang tidak populer, seperti penertiban bangunan di sempadan, pembatasan izin di zona rawan, dan penegakan standar pemeliharaan yang ketat. Pemerintah juga akan dinilai dari kemampuan mengajak warga sebagai mitra, bukan sekadar objek penerima bantuan.

Bencana tidak bisa dihapus, tetapi dampaknya bisa diminimalkan bila kebijakan mengikuti ilmu pengetahuan, infrastruktur dipelihara, dan masyarakat dilibatkan. Kunjungan Presiden Prabowo ke gang berlumpur di Gerenceng adalah sinyal yang baik. Tantangan berikutnya adalah memastikan lumpur tidak kembali ke agenda kebijakan dalam bentuk penundaan dan kompromi. Bali butuh keputusan yang berani, terukur, dan konsisten. Dari kunjungan ke perubahan. Dari janji ke kinerja. Dari darurat ke ketangguhan. (*)

Baca juga :
  • Tata Ruang yang Lupa pada Air
  • Banjir dan Cermin Kota
  • Berebut Kue Wellness