Search

Home / Kolom / Editorial

Alarm Alam Bali

Nyoman Sukadana   |    14 September 2025    |   20:15:00 WITA

Alarm Alam Bali
Editorial. (podiumnews)

BANJIR yang melanda Pasar Badung dan Pasar Kumbasari beberapa hari lalu tidak bisa hanya dibaca sebagai peristiwa rutin saat hujan deras mengguyur. Ia adalah alarm keras yang diperdengarkan alam kepada kita semua. Genangan air di basement pasar, kios yang tertutup lumpur, hingga kendaraan yang terjebak hanyalah gejala. Pesan utamanya jauh lebih menakutkan: daya tahan alam Bali semakin rapuh.

Solidaritas yang terbangun pada Minggu pagi ketika Gubernur Bali bersama Menteri Lingkungan Hidup turun langsung membersihkan sisa lumpur dan sampah memang patut diapresiasi. Begitu banyak pihak bergandeng tangan, dari aparat, relawan, pelajar, hingga pedagang, membuktikan bahwa pada saat genting kebersamaan masih menjadi kekuatan. Namun alarm alam ini tidak boleh diredam hanya dengan kerja bakti sesaat. Jika kita berhenti pada bersih-bersih darurat, maka kita sekadar menunda datangnya bencana berikutnya.

Air bah ini memperlihatkan sesuatu yang lebih mendasar: hulu sungai yang tidak lagi terjaga, daerah resapan yang terus berkurang, drainase kota yang tersumbat, serta pola hidup yang belum disiplin terhadap sampah. Ketika hujan ekstrem datang, semua kelemahan itu meledak sekaligus. Alam yang dulu menjadi benteng, kini berbalik menjadi ancaman karena pertahanannya sudah terkikis.

Perubahan iklim memperberat situasi. Curah hujan semakin tak menentu, musim kian bergeser, dan intensitas hujan yang ekstrem lebih sering datang. Infrastruktur yang kita bangun tidak dirancang untuk menahan pola baru ini, tata ruang kita lebih tunduk pada kepentingan jangka pendek, dan perilaku kita terhadap alam jauh dari bijak. Semua ini membuat alarm alam Bali berbunyi semakin nyaring.

Kita perlu jujur: banjir kemarin bukan musibah kebetulan, melainkan akibat dari kelalaian kolektif. Jika sungai dibebani sampah, jika hutan di hulu terus menyusut, jika kota penuh beton tanpa ruang resapan, maka banjir hanyalah konsekuensi yang tak terhindarkan. Peringatan ini akan terus datang, mungkin lebih keras, jika kita tetap menutup telinga.

Menghadapi alarm ini, Bali membutuhkan keberanian untuk berubah. Hulu sungai harus dipulihkan, daerah resapan dipertahankan, drainase diperbaiki dan dirawat, tata ruang dijalankan dengan disiplin. Lebih dari itu, kesadaran masyarakat terhadap sampah harus menjadi bagian dari budaya baru. Semua langkah ini tidak bisa ditunda, karena setiap penundaan berarti mengundang alarm yang lebih bising dan bencana yang lebih besar.

Bali adalah pulau yang selama ini dielu-elukan karena harmoni alam dan budaya. Tapi harmoni itu kini retak. Banjir besar kemarin menunjukkan bahwa kita sudah melewati batas aman. Jika kita masih ingin Bali menjadi rumah yang nyaman, maka alarm alam ini harus dijawab bukan dengan retorika, melainkan dengan tindakan nyata. Membersihkan lumpur hanyalah awal. Pekerjaan sejati adalah membangun kembali daya tahan alam Bali agar tak lagi rapuh di hadapan hujan. (*)

Baca juga :
  • Dari Kunjungan ke Perubahan
  • Tata Ruang yang Lupa pada Air
  • Banjir dan Cermin Kota