SAYA sering merenung, bagaimana perjalanan hidup membawa saya sampai ke titik ini. Dari sekian banyak jalan yang bisa ditempuh, saya memilih satu jalur yang sederhana tapi penuh liku: dunia media. Bagi sebagian orang, ini pekerjaan yang melelahkan, kadang tak menentu, bahkan dianggap kurang menjanjikan. Namun bagi saya, media bukan hanya profesi. Ia adalah jalan hidup sekaligus sumber penghidupan. Sejak muda, saya tumbuh bersama berita, bersama kata-kata, bersama cerita orang lain yang kadang lebih hidup daripada kisah saya sendiri. Dunia media mengajarkan saya arti ketekunan, keberanian, juga kesabaran. Dari dunia ini pula saya belajar bahwa kebenaran sering kali lahir dari ruang yang sunyi, dari kerja keras yang jarang terlihat di permukaan. Dan meski jalan ini tidak selalu mudah, saya tidak pernah menyesal telah memilihnya. Ketika pertama kali membangun PodiumNews, modal yang saya miliki tidak seberapa. Hanya lima ratus ribu rupiah. Untuk membeli laptop saja masih kurang. Tapi dengan segala keterbatasan itu, saya tetap melangkah. Saya percaya, yang penting bukan seberapa besar modal, melainkan seberapa besar tekad untuk memulai. Delapan tahun berlalu, PodiumNews kini tumbuh menjadi media lokal yang berdiri di atas kaki sendiri, dengan ribuan berita, dengan nama yang terdaftar resmi di Dewan Pers, dengan pembaca yang setia. Itu semua bukan karena saya lebih hebat dari orang lain, tapi karena saya terus berusaha konsisten, meski jalannya pelan. Kini, saya sedang menyiapkan langkah berikutnya: Podium Ecosystem. Sebuah jaringan kecil yang ingin saya bangun dari dasar yang sudah ada. PodiumNews akan tetap menjadi pusatnya, sementara UrbanBali dan Podium Kreatif saya siapkan perlahan. Satu lagi, sebuah rencana yang lebih personal: Kedai Redaksi. Kedai itu belum ada. Saat ini saya baru menanam pohon di atas sebidang tanah keluarga, luasnya sekitar sepuluh sampai dua belas are. Itu pun hanya sebagian saja dari lahan warisan orang tua, sementara sisanya kini dimiliki kakak saya. Jadi, lahan ini bukan sepenuhnya milik saya, melainkan sebidang kecil yang boleh saya rawat dan manfaatkan. Di situlah saya membayangkan suatu hari akan berdiri sebuah kedai sederhana yang dikelilingi pepohonan. Konsepnya bukan sekadar tempat menjual minuman, tapi ruang pertemuan. Ruang tempat orang bisa duduk bersama, berbagi cerita, membaca, menulis, atau sekadar diam dalam suasana yang tenang. Saya tahu, untuk sampai ke sana butuh waktu. Pohon tidak bisa dipaksa tumbuh cepat. Butuh lima sampai tujuh tahun agar batangnya kokoh dan daunnya lebat. Itu sebabnya saya memulainya sekarang, bukan dengan bangunan, melainkan dengan menanam. Saya percaya, kedai yang lahir dari kesabaran akan punya jiwa yang berbeda. Ia tidak lahir dari ambisi cepat, melainkan dari proses yang alami. Bagi saya, lahan warisan itu bukan sekadar aset. Ia adalah jejak orang tua yang harus dijaga. Dengan memanfaatkannya, saya merasa seperti sedang menjaga peninggalan mereka, sekaligus menyiapkan tempat untuk masa depan saya sendiri. Saya tidak pernah menganggapnya sebagai harta besar. Justru karena sederhana dan terbatas, saya belajar untuk bersyukur. Banyak orang bahkan tidak punya kesempatan yang sama. Maka, bagi saya, menggunakan sebidang kecil tanah keluarga untuk menanam pohon dan merancang ruang di hari tua sudah lebih dari cukup. Usia empat puluhan adalah awal perjalanan saya membangun usaha. Saya tidak berharap jadi orang kaya raya. Cita-cita saya sederhana: ketika hari tua tiba, saya ingin tetap bisa menulis, tetap bisa berinteraksi, tetap bisa menjalankan usaha yang lahir dari passion saya. Dunia media telah memberi saya jalan hidup, dan saya ingin tetap setia padanya. Kedai Redaksi hanyalah perpanjangan dari itu, ruang lain yang bisa menampung cerita, meski dalam bentuk yang berbeda. Saya sadar, jalan ini mungkin tidak selalu mulus. Ada banyak hal yang bisa menghambat. Bisa saja pohon yang saya tanam mati, bisa saja usaha yang saya rencanakan tidak semulus bayangan. Tapi bukankah hidup memang begitu? Tidak ada yang pasti, kecuali keyakinan untuk terus melangkah. Selama saya bisa menjaga niat, selama saya bisa merawat apa yang sudah dimulai, saya percaya hasilnya akan mengikuti. Saya tidak ingin terburu-buru. Tidak ingin dibanding-bandingkan dengan orang lain yang mungkin lebih cepat berhasil. Bagi saya, keberhasilan bukan soal siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling konsisten. Saya memilih untuk membangun pelan-pelan, sesuai dengan kemampuan, sesuai dengan irama hidup saya. Dan kalau nanti Podium Ecosystem benar-benar tumbuh, itu semua bukan karena saya hebat, tapi karena saya mau menunggu, mau belajar, dan mau setia pada jalan yang saya pilih. Pada akhirnya, saya ingin hidup saya sederhana saja. Menetap di kampung halaman, merawat tanah warisan, membangun ruang kecil yang bisa memberi manfaat, dan tetap menulis di usia senja. Itulah bentuk kebahagiaan yang saya impikan. Tidak berlebihan, tidak mewah, tapi cukup. Karena saya percaya, cukup itu sudah lebih dari segalanya. (*) Menot Sukadana
Baca juga :
• Ruang Kecil, Langkah Panjang
• Ketabahan yang Sering Terlupakan
• Genangan dan Ingatan Kota