SENGKUNI dan Joker, dua tokoh dari dunia yang berbeda, sama-sama menyimpan kisah tentang bagaimana manusia bisa berubah menjadi jahat. Yang satu lahir dari epos Mahabharata, yang lain dari kisah kelam Gotham. Keduanya mengingatkan kita bahwa kejahatan jarang datang begitu saja; hampir selalu ada luka yang mendahuluinya. Cak Nun pernah berkata, Sengkuni menjadi jahat bukan karena memang dilahirkan untuk itu. Ia pernah dipenjara bersama keluarganya, merasakan penderitaan yang sulit dibayangkan. Ada kisah yang menyebut, demi bertahan hidup, ia harus mengorbankan saudaranya sendiri. Dari luka itulah lahir tipu daya, menjadikannya penghasut abadi di pihak Kurawa. Ada alasan yang membentuknya. Cak Nun lalu mengarahkan pandangannya pada negeri ini: “Sengkuni saja punya alasan, kalian para pejabat Indonesia jahatnya karena apa? Kamu pernah menderita apa? Kamu pernah miskin apa? Kamu bisa membayar miliaran untuk menjadi pejabat, lalu apa alasanmu jahat kepada rakyat?” Pertanyaan itu tidak hanya menohok para penguasa, tapi juga mengetuk batin kita semua: apa alasan kita ketika memilih jalan yang melukai orang lain? Joker: Dari Arthur Fleck Menjadi Simbol Kekacauan Hollywood menghadirkan kisah lain lewat film Joker (2019). Arthur Fleck bukanlah penjahat sejak awal. Ia hanyalah pria rapuh yang ingin membuat orang lain tertawa, seorang badut yang bercita-cita menjadi komedian. Tetapi dunia memperlakukannya dengan kasar: ejekan, penghinaan, kesepian, kegagalan ekonomi, penyakit mental yang diabaikan negara. Sedikit demi sedikit, hidupnya runtuh. Ia kehilangan pekerjaan, ditolak oleh sistem kesehatan, dan dipukul kenyataan bahwa orang-orang memperlakukannya bukan sebagai manusia, melainkan sebagai beban. Dari ejekan hingga kesepian akut, Arthur berubah menjadi Joker, simbol kekacauan yang lahir dari penelantaran sosial. Hannah Arendt pernah menulis tentang banalitas kejahatan: bahwa keburukan sering kali lahir dari hal-hal biasa, dari sistem yang menelantarkan, dari manusia yang menutup mata terhadap penderitaan orang lain. Arthur bukanlah monster sejak lahir. Ia menjadi monster karena masyarakat menutup semua pintu harapan. Kisah Joker menyadarkan kita pada sisi rapuh manusia: bahwa siapa pun, dalam kondisi tertentu, bisa kehilangan kendali. Kejahatan kadang bukan pilihan sadar, melainkan buah dari luka-luka kecil yang dibiarkan tanpa peduli. Kekuasaan dan Ketiadaan Alasan Tetapi inilah paradoks yang disinggung Cak Nun. Sengkuni punya luka. Joker punya kondisi. Lalu pejabat di negeri ini? Tentu tidak semua, tetapi kita tahu ada segelintir yang mencoreng amanat kekuasaan. Mereka lahir dalam kenyamanan, tumbuh dengan fasilitas, menikmati gaji besar, tunjangan, dan hormat. Tidak ada penderitaan besar yang membenarkan kezaliman. Namun justru dari kursi empuk itu lahir kebijakan dan tindakan yang merugikan rakyat. Kita terlalu sering mendengar kabar tentang pejabat korup: ada yang menyalahgunakan dana bencana, ada yang mencuri anggaran pendidikan, ada yang menjadikan proyek infrastruktur sebagai ladang keuntungan pribadi. Semua dilakukan ketika mereka sudah bergaji besar, sudah hidup terhormat, sudah dimuliakan negara. Apa alasan mereka? Tidak ada. Mereka tidak sedang kelaparan. Mereka tidak sedang ditelantarkan. Mereka tidak sedang menderita seperti Sengkuni atau Joker. Kejahatan mereka lahir dari keserakahan, dari nafsu yang tidak pernah merasa cukup. Inilah wajah kejahatan yang paling telanjang, karena dilakukan bukan demi bertahan hidup, melainkan demi kerakusan pribadi. Jean-Jacques Rousseau menulis, “Man is born free, and everywhere he is in chains.” Tetapi belenggu justru dipasang oleh mereka yang berkuasa. Albert Camus pun mengingatkan, “The welfare of the people in particular has always been the alibi of tyrants.” Kata “demi rakyat” kerap menjadi jargon kosong, sementara rakyat tetap harus membayar harga paling mahal. Ironinya jelas: Sengkuni jahat karena luka, Joker jahat karena penelantaran, tetapi sebagian pejabat di negeri ini, mereka yang korup, jahat karena rakus. Bayangan di Cermin Kita Tulisan ini tentu bukan sekadar tentang mereka. Judulnya menyebut “Sengkuni, Joker, dan Kita”, karena sesungguhnya bayangan itu juga ada dalam diri kita. Setiap hari kita pun berhadapan dengan pilihan: apakah menyakiti yang lemah atau melindungi mereka? Apakah mengabaikan penderitaan orang lain atau hadir untuk meringankannya? Friedrich Nietzsche mengingatkan: “Beware that, when fighting monsters, you yourself do not become a monster... for when you gaze long into the abyss, the abyss gazes also into you.” Saat kita mengutuk Sengkuni atau Joker, kita sebetulnya sedang bercermin pada kemungkinan menjadi seperti mereka. Namun sejarah memberi cermin lain. Nelson Mandela, yang mendekam 27 tahun di penjara apartheid, bisa saja keluar dengan dendam. Tetapi ia memilih rekonsiliasi. “Resentment is like drinking poison and then hoping it will kill your enemies,” katanya. Dari luka, ia memilih kebesaran jiwa. Begitu pula Mahatma Gandhi, yang berkali-kali dipenjara, dihina, dipukul, bahkan diancam mati. Ia memilih jalan ahimsa, perlawanan tanpa kekerasan. “An eye for an eye makes the whole world blind,” katanya. Dari penindasan, ia memilih damai. Mereka membuktikan: penderitaan bisa melahirkan keburukan, tetapi juga bisa menumbuhkan kebajikan. Semuanya kembali pada pilihan. Viktor Frankl, penyintas kamp konsentrasi Nazi, menulis: “Between stimulus and response, there is a space. In that space is our power to choose our response. In our response lies our growth and our freedom.” Di ruang itulah, kebebasan manusia sejati berada. Sengkuni dan Joker adalah cermin gelap. Mandela dan Gandhi adalah cermin terang. Pertanyaannya kini menusuk kita: jika yang menderita saja bisa memilih jalan baik, apa alasan kita yang hidup dalam kenyamanan untuk berbuat jahat? Menot Sukadana
Baca juga :
• Jalan Hidup yang Saya Pilih
• Ruang Kecil, Langkah Panjang
• Ketabahan yang Sering Terlupakan