Mitigasi Banjir Bali
HUJAN yang datang lebih awal tahun ini membawa pelajaran pahit bagi Bali. Alih-alih hanya memberi kesejukan dan kesuburan, hujan deras sejak Agustus justru memicu bencana. Data resmi mencatat 17 orang meninggal dunia, 5 orang hilang, dan ratusan lainnya terpaksa mengungsi. Denpasar mencatat 81 titik banjir, menjadikannya kota dengan dampak paling parah. Pasar tradisional sempat lumpuh, jalan protokol tergenang, dan rumah warga penuh material lumpur. Bencana ini bukan sekadar peristiwa alam, melainkan hasil dari rapuhnya sistem mitigasi yang belum memadai.
Bali sebenarnya bukan baru sekali menghadapi banjir besar. Tetapi setiap kali air surut, pembelajaran seakan ikut hilang. Sungai tetap dipenuhi sampah, drainase kota kembali diabaikan, hulu daerah aliran sungai terus ditebangi. Padahal banjir yang terjadi pertengahan September 2025 sudah memperlihatkan betapa rapuhnya pertahanan ruang hidup kita. Lebih dari 763 kejadian bencana tercatat, dengan Denpasar, Badung, dan beberapa kabupaten lain masuk kategori paling terdampak. Korban jiwa dan kerugian material menuntut keseriusan lebih, bukan sekadar penanganan darurat.
Kondisi ini sejalan dengan peringatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Musim hujan tahun ini datang lebih awal akibat kombinasi faktor global. Indian Ocean Dipole negatif, suhu muka laut yang lebih hangat, serta netralnya fenomena ENSO telah mempercepat suplai uap air. Akibatnya, awan hujan terbentuk lebih intens di wilayah barat Indonesia termasuk Bali. Dengan kata lain, pola musim yang dulu bisa ditebak kini berubah. Apa yang disebut normal tidak lagi berlaku.
Karena itu, mitigasi harus ditempatkan di jantung kebijakan lokal. Mitigasi tidak cukup dengan mengirim bantuan logistik setelah banjir terjadi. Ia harus hadir sebelum bencana datang. Infrastruktur pengendali banjir seperti kolam retensi, normalisasi sungai, dan perbaikan drainase kota wajib dipercepat. Di daerah rawan longsor, terasering dan penahan tanah harus segera dibangun. Semua ini adalah bentuk kesiapan struktural yang nyata.
Namun mitigasi tidak berhenti di beton dan semen. Solusi berbasis alam lebih penting untuk jangka panjang. Reboisasi di hulu sungai, perlindungan tutupan hutan, dan pemulihan daerah resapan air menjadi syarat mutlak. Hutan dan vegetasi adalah penyangga alami yang mampu menyerap air hujan, mengurangi erosi, dan menahan banjir bandang. Jika hutan terus hilang, hujan berapa pun akan menjadi bencana.
Di sisi lain, kesiapan non struktural harus diperkuat. Masyarakat Bali perlu diberi edukasi tentang cara membaca tanda cuaca ekstrem dan langkah penyelamatan diri. Jalur evakuasi di banjar dan desa harus jelas. Pemerintah daerah wajib memanfaatkan teknologi seperti sistem peringatan dini, radar cuaca, hingga aplikasi berbasis GIS untuk memetakan titik rawan. Pemanfaatan kecerdasan buatan untuk meningkatkan akurasi prakiraan hujan hingga tingkat kabupaten adalah langkah baik yang perlu diperluas.
Mitigasi juga berarti penegakan regulasi. Tata ruang Bali tidak boleh terus dikompromikan oleh kepentingan jangka pendek. Pembangunan di atas sempadan sungai atau daerah resapan harus dihentikan. Penebangan liar yang melemahkan fungsi hutan harus dihentikan dengan tegas. Tanpa regulasi yang dijalankan dengan konsisten, semua rencana mitigasi hanya akan menjadi catatan di atas kertas.
Pelajaran dari banjir Bali 2025 seharusnya menjadi titik balik. Kita tidak bisa lagi menunggu air meluap baru menyiapkan perahu karet. Kita tidak boleh lagi menunggu korban jatuh baru menyusun rencana. Mitigasi harus menjadi budaya, bukan sekadar proyek. Ia harus menyatu dalam pendidikan, perencanaan pembangunan, dan kesadaran publik.
Air hujan sejatinya adalah berkah bagi sawah, ladang, dan kehidupan. Tetapi tanpa kesiapan, berkah itu berubah menjadi musibah. Editorial ini hendak menegaskan bahwa Bali tidak boleh lagi menganggap banjir sebagai hal biasa. Setiap korban jiwa adalah alarm bahwa kita terlambat. Setiap rumah terendam adalah tanda bahwa sistem kita rapuh. Mitigasi adalah jalan satu-satunya agar hujan kembali menjadi sahabat, bukan ancaman. (*)