Search

Home / Kolom / Jeda

Antara Kopi, Kata, dan Kabar

Nyoman Sukadana   |    17 September 2025    |   01:29:00 WITA

Antara Kopi, Kata, dan Kabar
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

HIDUP sering kali ditandai oleh hal-hal kecil yang terus berulang. Bagi saya, kopi, kata, dan kabar adalah pengulangan yang membentuk makna. Dari tiga hal itu saya belajar tentang kesetiaan, tentang kerendahan hati, dan tentang cara menerima hidup apa adanya.

Sudah lebih dari dua puluh tahun tiga hal itu melekat dalam diri saya. Setiap kali kata-kata hendak saya susun, yang pertama hadir di meja adalah secangkir kopi dan sebatang rokok. Itu semacam ritual, bukan sekadar kebiasaan. Tanpa kopi, konsentrasi saya tercecer. Tanpa rokok, pikiran saya serasa tak utuh. Mungkin tampak sederhana, tetapi justru dari hal-hal sederhana itu kata demi kata menemukan jalannya menjadi kabar.

Menjadi jurnalis, saya percaya, bukan hanya soal menulis berita. Ia adalah panggilan. Albert Camus, penulis asal Prancis yang juga dikenal sebagai filsuf eksistensialis, suatu kali mengingatkan bahwa tugas seorang penulis adalah menjaga agar peradaban tidak menghancurkan dirinya sendiri. Kalimat itu terasa kuat bagi saya, karena menulis kabar berarti menjaga ruang kebenaran agar tetap hidup, sekecil apa pun ruang itu.

Pernah ada masa ketika saya mencoba berbelok, mencari jalan lain di luar dunia jurnalisme. Tetapi semakin jauh saya melangkah, semakin saya sadar bahwa profesi ini sudah melekat seperti aroma kopi di setiap pagi. Saya memasuki usia lima puluhan dengan kesadaran bahwa saya tidak punya keahlian lain selain kata dan kabar. Alih-alih merasa terbatas, saya memilih melihatnya sebagai anugerah. Dari dunia inilah saya bisa bertahan hidup, meski sering kali pas-pasan.

Søren Kierkegaard, filsuf Denmark yang kerap disebut bapak eksistensialisme, pernah menulis bahwa hidup hanya bisa dipahami ketika kita menoleh ke belakang, tetapi ia harus dijalani dengan langkah ke depan. Refleksi itu dekat sekali dengan pengalaman saya. Saat menoleh ke belakang, saya teringat hari-hari sebagai wartawan muda yang hanya tahu mengejar berita, menulis cepat, dan mengisi halaman. Tak pernah saya bayangkan jalan panjang itu akan membawa saya pada peran berbeda, sebagai publisher yang mesti menjaga agar kata-kata tidak hilang arah.

Delapan tahun lalu, saya melangkah ke babak baru. Dari seorang jurnalis, saya menjadi publisher. Saya mendirikan PodiumNews dengan modal lima ratus ribu rupiah. Tidak banyak, tetapi cukup untuk sebuah permulaan. Dalam ajaran Tao yang ditulis lebih dari dua ribu tahun lalu, Lao Tzu menegaskan bahwa perjalanan seribu mil selalu dimulai dengan satu langkah. Kalimat sederhana itu benar-benar saya rasakan ketika membuka kantor kecil, merekrut satu-dua karyawan, dan mulai menata jalan panjang PodiumNews hingga akhirnya terverifikasi Dewan Pers.

Dari perjalanan itu saya belajar kerendahan hati. PodiumNews bukan media besar. Ia lahir dari keterbatasan dan tumbuh dengan segala kekurangan. Tetapi justru dari kekurangan itu kami berusaha menjaga marwah jurnalisme. Kami menulis berita lokal yang kadang dianggap remeh, tetapi selalu kami rawat dengan sungguh-sungguh. PodiumNews hadir seperti kopi hitam tanpa gula, tidak manis berlebihan, tetapi jujur apa adanya.

Kini, memasuki tahun kedelapan, saya mulai membayangkan sebuah ekosistem. Tidak lagi hanya PodiumNews, tetapi cabang-cabang yang lahir dari akar yang sama. Ada UrbanBali sebagai media gaya hidup, ada Podium Kreatif sebagai konsultan media, hingga Kedai Kopi Redaksi yang sedang dirancang. Semuanya lahir dari satu keyakinan: kata, kabar, dan kopi tetap bisa menjadi jalan hidup, meski bentuknya berkembang.

Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman yang banyak menulis tentang kehendak untuk bertahan, percaya bahwa siapa pun yang memiliki alasan untuk hidup dapat menanggung hampir segala cara untuk menjalaninya. Kata-katanya selalu menguatkan saya setiap kali rasa letih muncul. Mengapa saya bertahan di dunia ini meski jalannya berat, meski penghasilan sering pas-pasan, meski tantangan semakin besar? Karena saya punya alasan: kata, kabar, dan kopi adalah cara saya memahami hidup.

Saya tahu, hidup saya biasa saja. Saya hanyalah seorang jurnalis lokal yang mencoba bertahan di tengah riuhnya zaman digital. Tetapi dari kebiasaan sederhana itu saya belajar arti kerendahan hati. Kita tidak perlu menjadi yang terbesar untuk memberi arti. Kata-kata kecil dari meja kopi bisa tetap menyentuh hati pembaca jika ditulis dengan jujur.

Dari kopi pula saya belajar arti kesetiaan. Kesetiaan pada profesi, pada pilihan hidup, pada jalan yang sederhana tetapi penuh makna. Jalaluddin Rumi, penyair sufi dari abad ke-13 yang puisinya penuh tentang cinta dan kerinduan, pernah menulis bahwa apa yang kita cari sesungguhnya sedang mencari kita juga. Kalimat itu membuat saya sadar, kata dan kabar yang saya kejar sejak muda ternyata selalu menemukan jalan kembali ke meja kerja saya.

Maka biarlah hidup saya berjalan apa adanya. Dengan kopi yang selalu hadir di meja, dengan kata yang terus saya susun, dengan kabar yang saya kirimkan. Tidak lebih, tidak kurang. Dari kesederhanaan itu, saya percaya masih ada arti yang bisa saya bagi, meski kecil, kepada sesama.

Setiap kali malam tiba, saya kembali pada meja yang sama. Kopi sudah setengah dingin, rokok tinggal puntung, tetapi kata-kata tetap berdenyut. Dari sana saya tahu, jalan ini bukan sekadar pilihan. Ia adalah panggilan. Kopi, kata, dan kabar bukan hanya tiga hal yang melekat pada profesi, melainkan tiga hal yang melekat pada diri saya. Dan di sanalah saya menemukan arti cukup. (*)

Menot Sukadana

Baca juga :
  • Sengkuni, Joker, dan Kita
  • Jalan Hidup yang Saya Pilih
  • Ruang Kecil, Langkah Panjang