AIR datang lebih dulu sebelum orang terbangun. Ia mengetuk pintu rumah-rumah di Denpasar tanpa suara, lalu masuk perlahan ke kamar yang gelap. Di Jalan Gajah Mada IV, Ni Wayan Ayu Darmianti masih tertidur ketika seekor anjing bernama Moka mendorong pintu kamarnya. Ia jarang melakukannya. Pagi itu ia mendesak masuk, menggaruk kaki tuannya, dan menyalak lirih. Ayu bangun. Kakinya menapak lantai yang sudah tergenang. Dalam hitungan menit, air makin tinggi. Dari ruang tamu, Charlie, anjing lain miliknya, menggonggong dari atas sofa. Situasi itu membuat Ayu segera sadar. Ia mengangkat barang-barang penting, lalu bersama kedua anjingnya bertahan di balai pekarangan rumah. “Kalau tidak dibangunkan Moka, saya tidak tahu apa yang akan terjadi,” katanya. Kisah itu menyebar cepat. Dari warga, dari media lokal, hingga terdengar oleh Presiden Prabowo Subianto yang berkunjung ke Denpasar tiga hari kemudian. Presiden menyebut Moka pahlawan. Ucapan sederhana itu membuat cerita ini menjelma jadi perhatian luas. Kepahlawanan sering kita bayangkan hadir di panggung besar atau di medan perang. Padahal ia bisa lahir di ruang domestik, di kamar sederhana, lewat gonggongan seekor anjing. Banjir di Denpasar memperlihatkan absurditas yang kita biarkan bertahun-tahun: drainase tersumbat, tata ruang abai, pembangunan tanpa keseimbangan. Dalam absurditas itu, Moka memilih tidak diam. Kita seperti mendengar ulang gagasan Camus tentang pahlawan: mereka yang menolak menyerah pada absurditas yang terus berulang. Aristoteles pernah menulis bahwa persahabatan adalah satu jiwa dalam dua tubuh. Biasanya ditafsirkan untuk manusia, tetapi pagi itu di Denpasar maknanya tampak lain. Jiwa kesetiaan membuat Ayu dan Moka seolah menyatu dalam rasa takut dan kewaspadaan. Tidak ada bahasa yang sama, namun ada rasa yang saling menjaga. Kisah ini tidak hanya soal keharuan. Banjir di Denpasar bukan peristiwa langka. Setiap tahun cerita serupa berulang. Kita sudah tahu sebab-sebabnya, tetapi kita membiarkannya menjadi rutinitas musiman. Jika seekor anjing bisa peka membaca tanda, mengapa manusia memilih lengah. Di sini terasa benar kata Lao Tzu: orang bijak membangun jembatan, orang bodoh membangun dinding. Kota ini tampak sibuk membangun dinding beton yang menutup jalan air, sementara jembatan yang menghubungkan manusia dengan alam semakin sedikit. Maka banjir pun kembali berulang. Ayu tidak pernah mengira kisahnya akan sampai ke telinga presiden. Baginya, Moka hanya anggota keluarga yang setia. Tetapi ketika cerita itu dibicarakan di ruang publik, ia menjelma jadi peringatan. Bahwa keberanian bisa lahir dari tempat yang paling sederhana. Moralitas sebuah bangsa, kata Gandhi, tampak dari cara memperlakukan hewan. Jika kita bisa memberi penghargaan pada seekor anjing karena kesetiaannya, mestinya kita juga lebih peduli pada warga yang hidup di tengah genangan. Mengakui keberanian seekor makhluk kecil seharusnya membuat kita rendah hati dalam memperlakukan kehidupan. Presiden Prabowo menyebut Moka pahlawan. Pernyataan itu sederhana, namun mengandung makna. Di tengah riuh politik, di tengah hiruk pembangunan, sebuah gonggongan kecil bisa mengingatkan kita pada hakikat keberanian. Bahwa menyelamatkan satu nyawa sama berharganya dengan menyelamatkan banyak. Banjir Denpasar mungkin akan datang lagi. Camus, lewat kisah Sisyphus yang terus mendorong batu ke puncak hanya untuk melihatnya terguling kembali, mengingatkan kita pada siklus itu. Hidup yang absurd, pekerjaan yang berulang. Namun Sisyphus tidak berhenti. Ia tetap mendorong. Dan Moka, dengan gonggongannya, juga menolak menyerah pada arus yang mengancam. Kisah ini akhirnya bukan hanya tentang seekor anjing dan tuannya. Ia adalah pengingat. Bahwa keselamatan kadang datang dari tempat yang tak kita duga. Bahwa keberanian tidak selalu lahir dari suara lantang. Kadang ia hadir dari gonggongan kecil di subuh hari. (*) Menot Sukadana
Baca juga :
• Antara Kopi, Kata, dan Kabar
• Sengkuni, Joker, dan Kita
• Jalan Hidup yang Saya Pilih