YOGYAKARTA, PODIUMNEWS.com - Kemunculan video iklan pemerintah di bioskop komersial memicu perdebatan di kalangan masyarakat. Publik mempertanyakan alasan pemerintah memilih bioskop sebagai medium untuk menyampaikan pesan mengenai keberhasilan program kerja. Kritik pun muncul karena langkah tersebut dianggap mengulang pola komunikasi Orde Baru yang bersifat satu arah tanpa ruang diskusi. Dosen Komunikasi Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Prof Nyarwi Ahmad, menilai strategi komunikasi tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar. “Apakah pemerintah tidak memiliki cara yang lebih inovatif untuk menyampaikan informasi mengenai keberhasilan program kerjanya?” ujarnya, Kamis (18/9/2025) di Yogyakarta. Menurut Nyarwi, penayangan iklan di bioskop berpotensi melahirkan persepsi propaganda. Publik bisa menafsirkan bahwa pesan yang ditayangkan merupakan bentuk komunikasi politik sepihak, terlebih bioskop umumnya menjadi ruang tontonan fiksi. “Di sini audiens jadi mempertanyakan apakah program kerja yang disampaikan nyata atau sebaliknya,” terangnya. Ia menambahkan, pola propaganda semacam ini bukan hal baru dalam sejarah politik Indonesia. Pada masa Orde Baru, pemerintah sering menggunakan medium komunikasi satu arah untuk menyalurkan pesan politik tanpa menyediakan ruang bagi interaksi publik. “Kenapa pemerintah nyaman menggunakan pola komunikasi seperti ini, saya kira ini termasuk dalam bentuk propaganda,” ungkapnya. Kritik juga muncul terkait dampak jangka panjang terhadap citra kepemimpinan. Nyarwi menilai pola komunikasi satu arah berisiko menimbulkan sinisme publik terhadap Presiden Prabowo. Ketidakpercayaan bisa menguat apabila komunikasi pemerintah dinilai tidak transparan dan tidak memberi ruang partisipasi. “Saya kira tim dari Presiden harus lebih inovatif dalam melakukan komunikasi publik,” katanya. Selain isu propaganda, penggunaan bioskop sebagai ruang penyampaian pesan juga menimbulkan pertanyaan etis. Bioskop adalah ruang komersial yang diakses masyarakat dengan membeli tiket. Menurut Nyarwi, hal ini perlu dipertimbangkan apakah berpotensi melanggar hak konsumen. “Di era masyarakat demokrasi penting bagi setiap pihak, baik itu pengelola bioskop maupun pemerintah, untuk mengerti hak dari konsumen,” ujarnya. Ia menegaskan, komunikasi publik di era demokrasi seharusnya berorientasi pada keterbukaan, inovasi, dan interaksi. Ketika ruang komunikasi publik masih diwarnai pola lama, kepercayaan masyarakat dapat terkikis. Pemerintah, lanjutnya, perlu menata ulang strategi komunikasi agar pesan kebijakan tidak sekadar diterima sebagai propaganda, melainkan sebagai informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Hingga kini, penayangan video iklan di bioskop masih berlangsung dan terus memicu perdebatan di media sosial. Pro kontra yang muncul menunjukkan bahwa publik semakin kritis dalam menyikapi pola komunikasi pemerintah. Kondisi ini sekaligus menjadi ujian bagi strategi komunikasi Presiden Prabowo di tengah kebutuhan menjaga legitimasi politik dan dukungan masyarakat. (riki/sukadana)
Baca juga :
• Presiden Prabowo Lantik Menteri Baru dalam Reshuffle Ketiga
• Bot Disebut Jadi Biang Hoaks, Kebijakan Satu Akun Dinilai Salah Sasaran
• Reshuffle Kabinet Prabowo Dipicu Faktor Ekonomi dan Politik