DPRD Bali Soroti Krisis Alih Fungsi Lahan
DENPASAR, PODIUMNEWS.com - Maraknya alih fungsi lahan di berbagai wilayah Bali kembali mencuat dalam diskusi publik bertajuk “Konflik Pertanahan di Bali: Dinamika Alih Fungsi Lahan dan Solusinya” yang diselenggarakan Forum Peduli Bali di Denpasar, Rabu (26/1/2025). Dalam forum tersebut, DPRD Bali menegaskan perlunya pengawasan ruang yang jauh lebih kuat untuk mencegah kian meluasnya ekspansi pemodal terhadap ruang hidup masyarakat.
Ketua Panitia Khusus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan atau Pansus TRAP DPRD Bali, I Made Supartha, hadir sebagai salah satu pemantik diskusi bersama aktivis sekaligus pengacara Dr Agus Samijaya serta Ketua Konsorsium Pembaruan Agraria Bali, Ni Made Indrawati. Ketiganya memotret kondisi pertanahan dari sudut pandang berbeda, namun sampai pada kesimpulan yang sama, yakni tata ruang Bali berada dalam situasi genting.
Menurut Supartha, desakan modal besar yang datang dari luar maupun dalam negeri membuat ruang Bali semakin tertekan. Ia mengingatkan bahwa Bali adalah pulau kecil dengan daya dukung terbatas, sementara permintaan ruang terus melonjak.
“Bali ini terlalu banyak mengundang kepentingan. Modal besar datang, baik legal maupun tidak, sehingga pulau kecil ini seolah bisa dibeli sesuka hati,” ujarnya dalam forum.
Supartha menegaskan bahwa regulasi nasional sebenarnya sudah memberikan batas tegas mengenai kepemilikan tanah oleh pihak asing. Namun, praktik penyiasatan aturan tetap terjadi di lapangan. “Cara-cara nominee itu ada. Penggunaan skema investasi tertentu digunakan untuk meminjam nama warga agar tanah bisa dikuasai asing. Ini penyelundupan hukum yang harus kita antisipasi,” katanya.
Ia menyoroti putusan SEMA Nomor 10 Tahun 2020 yang telah menegaskan larangan kepemilikan lahan oleh orang asing, tetapi praktik pengalihan kendali tetap marak. Menurut Supartha, pengawasan tidak bisa hanya bertumpu pada lembaga pemerintah. “Masyarakat yang tinggal di ruang itu yang harus paling kuat mengawasi. Regulasi penataan ruang, pesisir, dan lingkungan hidup semuanya menempatkan masyarakat sebagai pusat kepentingan negara,” ucapnya.
Supartha juga mengangkat persoalan alih fungsi lahan yang meningkat drastis setelah pandemi. Ia menyebut ratusan hektare sawah berubah fungsi dalam waktu singkat, dan beberapa pengusaha bahkan menguasai lahan hingga ratusan hektare. “Ini menyakitkan buat kita semua. Modal besar hanya mengejar keuntungan jangka pendek tanpa peduli lingkungan maupun masa depan,” ungkapnya.
Di hadapan peserta forum, Supartha menegaskan bahwa DPRD Bali melalui Pansus TRAP akan terus menjalankan fungsi pengawasan terhadap tata ruang dan perizinan. Ia menekankan pentingnya keseragaman persepsi antar-instansi agar tindakan penertiban dapat dilakukan secara tegas dan konsisten.
Sementara itu, Ketua Konsorsium Pembaruan Agraria Bali, Ni Made Indrawati, menyoroti ketimpangan penguasaan lahan sebagai sumber utama konflik agraria yang berlarut. Ia menilai posisi petani makin terdesak oleh investasi yang masuk ke lahan produktif. “Konflik agraria bukan hanya soal kepemilikan, tetapi juga keadilan ruang serta pengakuan hak masyarakat,” jelasnya.
Indrawati memaparkan bahwa konflik agraria di Bali berlangsung sejak 1990-an dan sebagian besar belum terselesaikan secara tuntas. Empat kabupaten tercatat sebagai wilayah dengan konflik paling banyak, yaitu Klungkung, Tabanan, Gianyar, dan Buleleng. “Butuh pendampingan dan keberpihakan yang lebih kuat agar kedaulatan pangan bisa tercipta,” tambahnya.
Sementara itu, Dr Agus Samijaya memandang persoalan pertanahan Bali sebagai bagian dari masalah struktural yang berdampak nasional. Ia menyebut percepatan alih fungsi lahan telah mencapai angka yang mengkhawatirkan. “Setiap tahun hampir seribu hektare sawah produktif hilang. Hutan pun turut berkurang. Untuk Bali yang kecil, ini kondisi serius,” ujarnya.
Agus juga mengkritik desain kebijakan agraria nasional yang dinilai lebih memihak kepentingan pasar dibanding kepentingan publik. Aturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja, termasuk pembentukan Bank Tanah, disebutnya memperlebar celah ekspansi ruang oleh pemodal besar.
Melalui diskusi ini, DPRD Bali kembali menegaskan komitmennya untuk mengawal tata ruang dan memperkuat perlindungan terhadap masyarakat yang terdampak tekanan ruang. Supartha menegaskan bahwa keberpihakan terhadap tata ruang yang adil merupakan kunci menjaga masa depan Bali. “Ini tugas bersama. Tidak boleh ada pihak yang menggunakan aturan untuk menekan masyarakat. Pengawasan harus semakin kuat,” tutupnya.
(sukadana)