Podiumnews.com / Kolom / Editorial

Krisis yang Membisu

Oleh Nyoman Sukadana • 19 September 2025 • 21:31:00 WITA

Krisis yang Membisu
Editorial. (podiumnews)

ADA krisis yang kerap luput dari percakapan publik, sebuah krisis yang berjalan senyap dan perlahan merenggut nyawa. Kasus bunuh diri kembali mencuat di linimasa media sosial dan pemberitaan arus utama, membawa keprihatinan yang mendalam. Belakangan, banyak kasus menimpa perempuan, terutama ibu rumah tangga yang menghadapi tekanan ekonomi. Beban ganda sebagai pengelola rumah tangga sekaligus tulang punggung keluarga menjadikan mereka berada pada titik paling rentan.

Krisis ini sesungguhnya tidak sederhana. Ia lahir dari jalinan berbagai faktor, mulai dari tekanan ekonomi, beban psikologis, hingga stigma sosial. Nurul Kusuma Hidayati, psikolog dari UGM, menyebut bunuh diri tidak berdiri pada satu sebab. Seseorang bisa jatuh ke titik krisis ketika beban hidup yang menumpuk tak lagi mampu dikelola. Pada perempuan, situasi ini sering kali diperparah oleh norma sosial, rasa malu atas kondisi keluarga, dan teror penagihan utang. Beratnya beban itu membuat banyak dari mereka merasa tidak sanggup mencari jalan keluar.

Di balik tragedi yang muncul ke permukaan, ada banyak kisah yang tidak sempat terucapkan. Rasa cemas yang tak kunjung reda, stres berkepanjangan, pikiran yang berputar tanpa henti, hingga kehilangan harapan. Semua gejala itu adalah alarm keras yang mestinya disikapi serius. Namun sayangnya, banyak orang masih menganggap masalah kesehatan mental sebagai kelemahan pribadi, bukan sebagai kondisi medis yang butuh penanganan.

Krisis ini semakin rumit ketika dunia digital ikut mempercepat arus informasi. Berita tentang bunuh diri yang tersebar tanpa penyaringan bisa menimbulkan efek penularan perilaku, yang dikenal dengan istilah copycat suicide. Media sosial menjadi ruang yang rapuh bagi mereka yang sedang goyah, karena alih-alih memberi penguatan, ia kerap justru menghadirkan tekanan tambahan.

Karena itu, pencegahan harus dipandang sebagai tanggung jawab kolektif. Literasi kesehatan mental penting ditingkatkan, bukan hanya di ruang akademik, tetapi juga dalam percakapan sehari-hari di keluarga, sekolah, tempat kerja, maupun komunitas. Masyarakat perlu memahami bahwa meminta pertolongan bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk keberanian. Dukungan psikologis harus tersedia lebih luas dan terjangkau, sehingga mereka yang sedang berada di ujung daya tahan memiliki akses untuk mendapatkan pertolongan sejak dini.

Namun, ketersediaan layanan tidak akan berarti banyak jika stigma tidak diubah. Perempuan yang berjuang di bawah beban ganda sering kali menghadapi cibiran, bukan pelukan. Padahal yang mereka butuhkan adalah ruang aman untuk bercerita dan bantuan nyata untuk keluar dari lingkaran masalah. Di titik inilah media, tokoh publik, dan lembaga sosial memiliki peran penting membangun narasi yang empatik. Alih-alih menghakimi, sudah saatnya kita menyuarakan dukungan agar perempuan tidak merasa sendirian.

Krisis yang membisu ini hanya bisa dihadapi bila kita berani membuka mata dan telinga. Tidak menutup-nutupi, tidak lagi menganggap sepele. Kita perlu belajar mendengar dengan hati, tanpa menghakimi. Kita perlu berani menanyakan kabar orang-orang terdekat, dan berani mengulurkan tangan ketika ada tanda-tanda krisis.

Editorial ini mengingatkan bahwa setiap nyawa berharga. Jangan biarkan mereka yang berjuang dalam diam terus terperangkap dalam kesunyian. Mari mulai dari hal sederhana: mendengar, merangkul, dan memberi jalan bagi mereka yang mencari harapan. Krisis ini tidak boleh lagi membisu. Ia harus kita jawab dengan empati, aksi nyata, dan keberanian untuk peduli. (*)