Search

Home / Kolom / Editorial

Tumpek Landep dan Sungai yang Kotor

Nyoman Sukadana   |    20 September 2025    |   18:45:00 WITA

Tumpek Landep dan Sungai yang Kotor
Editorial. (podiumnews)

SABTU (20/9/2025), Bali kembali semarak oleh perayaan Tumpek Landep. Jalan-jalan penuh motor dan mobil yang mengilap, dihias janur, dupa, dan bunga. Di meja kerja orang-orang, laptop dan komputer ditata rapi, diberi banten kecil sebagai tanda bakti. Ritual ini selalu membawa suasana meriah: kendaraan bersih, benda-benda logam diberi sesajen, dupa mengepul. Namun, di balik kemeriahan itu, ada pertanyaan yang menggantung: apakah makna sejati Tumpek Landep sungguh kita jalani?

Pertanyaan itu kian terasa pedih karena hanya sebelas hari sebelumnya, Bali diguncang bencana besar. Hujan deras dengan intensitas hingga 245,75 milimeter per hari mengguyur pulau ini pada 9 September. Air bah mengamuk, meluluhlantakkan pemukiman dan sawah. 18 orang meninggal dunia, 4 orang masih hilang, 6.309 keluarga terdampak, dan 157 jiwa terpaksa mengungsi. Kerusakan meluas: 194 rumah hancur, 520 fasilitas umum rusak, 82 tembok penyengker roboh, 23 titik jalan putus, hingga 3 jembatan ambruk. Kota Denpasar mencatat kerusakan paling parah, terutama pada fasilitas publik.

Bencana ini bukan semata karena langit menumpahkan hujan. Laporan Kementerian Lingkungan Hidup menyebut, dari sekitar 49.500 hektare kawasan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ayung, hanya 1.500 hektare atau 3 persen yang masih berhutan. Idealnya, tutupan hutan minimal 30 persen. Alih fungsi lahan, bangunan di sempadan sungai, serta tumpukan sampah di aliran air memperparah dampak banjir. Sungai yang seharusnya menjadi jalan air, justru berubah menjadi saluran mampet akibat kelalaian manusia.

Di tengah kenyataan getir itu, sebuah kisah dari Buleleng menjadi cermin tajam. Luh Irma Susanthi, Koordinator Penyuluh Agama Hindu Kecamatan Kubutambahan, bercerita tentang seorang pemuda yang setiap Tumpek Landep rajin mencuci motornya. Digosok sampai kinclong, disemprot parfum, dihias janur dan bunga. Namun, usai ritual, plastik bekas banten dilempar begitu saja ke sungai di belakang rumah. Motor suci, sungai kotor.

Kisah itu bukan anekdot belaka. Ia adalah potret betapa kita sering terjebak pada simbol, tapi abai pada substansi. Kita sibuk mengilapkan kendaraan, tapi lupa membersihkan lingkungan. Kita rajin merawat besi, tapi menelantarkan sungai yang memberi kita hidup.

Padahal, menurut lontar Sundarigama, makna sejati Tumpek Landep adalah pemujaan kepada Bhatara Siwa dan Sang Hyang Pasupati. Filosofinya bukan soal logam atau benda mati, melainkan tentang mengasah ketajaman pikiran agar mampu membedakan dharma dan adharma. Di era modern, senjata manusia bukan lagi keris atau tombak, melainkan gawai, internet, dan keputusan-keputusan moral sehari-hari.

Bila pikiran kita benar-benar tajam, mestinya kita bisa melihat jelas bahwa membuang plastik ke sungai adalah adharma. Menebang hutan tanpa kendali adalah adharma. Membiarkan lahan resapan tertutup beton adalah adharma. Semua itu bukan sekadar salah, tapi berbahaya. Karena dari situlah bencana datang.

Tumpek Landep seharusnya tidak hanya membuat motor bersih, tapi juga membuat sungai jernih. Tidak hanya menghias mobil, tapi juga menumbuhkan pohon. Tidak hanya mewangikan benda-benda, tapi juga membersihkan hati dan tindakan. Banten terbaik untuk Tuhan bukanlah janur yang indah di spion, melainkan bumi yang tetap lestari.

Bayangkan bila setiap banjar menjadikan Tumpek Landep sebagai momentum membersihkan sungai bersama. Bila setiap usai upacara, plastik banten tidak dilempar, melainkan dipilah. Bila setiap umat menjadikan pohon baru yang ditanam sebagai bagian dari sesajen. Maka, ritual tidak berhenti pada dupa yang mengepul, tapi menjelma menjadi laku bhakti ekologis yang nyata.

Apa gunanya motor suci kalau sungai mati? Apa arti dupa harum bila banjir kembali merenggut nyawa?

Bali sedang menunggu jawaban dari kita semua. Dan Tumpek Landep kali ini mestinya menjadi cermin: sudahkah pikiran kita benar-benar diasah, atau masih tumpul, sibuk pada simbol, tapi buta pada kenyataan? (*)

Baca juga :
  • Bali Melawan Rabies
  • Perpres untuk MBG
  • Merawat Sungai, Menjaga Kota