Search

Home / Kolom / Jeda

Arsitek Media

Nyoman Sukadana   |    21 September 2025    |   07:20:00 WITA

Arsitek Media
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

SEJAK muda, saya selalu percaya bahwa media bukan sekadar ruang untuk menyampaikan berita. Ia adalah jembatan antara pengalaman manusia dengan makna yang lebih luas. Keyakinan itu lahir bukan dari teori di kelas, melainkan dari perjalanan panjang saya sendiri, yang bertahun-tahun bergelut dalam dunia organisasi, advokasi, jurnalisme, hingga politik lokal. Semua pengalaman itu pada akhirnya berkelindan dan membentuk gagasan besar yang kini saya sebut sebagai Podium Ecosystem.

Dari Ruang Kampus ke Lintas Jalan Organisasi
Perjalanan saya dimulai sejak mahasiswa di Universitas Udayana. Waktu itu, idealisme dan semangat muda membuat saya aktif dalam organisasi mahasiswa. Saya pernah dipercaya menjadi Ketua BPM Fakultas Hukum, lalu menjadi Wakil Ketua Umum BEM Universitas Udayana. Dunia organisasi kampus mengajarkan saya banyak hal: bagaimana mengelola perbedaan, bagaimana membangun narasi, bagaimana menyuarakan aspirasi tanpa kehilangan akar pada kenyataan.

Selain di organisasi intra kampus, saya juga terlibat di berbagai LSM. Saya ikut aktif di PKBI Bali, IPW Bali, Kisara Bali, hingga jejaring advokasi nasional lainnya. Di ruang-ruang inilah saya belajar memahami isu sosial, kesehatan masyarakat, pendidikan, hingga hak-hak kelompok marjinal. Semua pengalaman itu membentuk cara pandang bahwa media tidak pernah lahir dalam ruang hampa. Ia selalu terikat dengan denyut sosial masyarakatnya.

Belajar dari Kerasnya Dunia Redaksi
Selepas dunia mahasiswa, jalan saya semakin dekat dengan media. Saya meniti karier dari reporter biasa, lalu dipercaya menjadi redaktur pelaksana di sebuah koran mingguan lokal yang fokus pada politik. Di sana saya mengelola laporan utama dan laporan khusus yang membedah dinamika politik secara tematik. Itu pengalaman yang membentuk ketajaman analisis saya terhadap relasi politik dan kekuasaan.

Kemudian, saya melangkah ke koran harian lokal yang lebih besar. Saya dipercaya menjadi redaktur politik, mengelola berita sekaligus mulai menulis opini. Di meja redaksi itu saya belajar bahwa politik dan pers selalu berhubungan erat, kadang saling menopang, kadang saling bertabrakan. Sepuluh tahun saya berada dalam pusaran politik lokal. Saya ikut melihat dari dekat bagaimana kampanye dijalankan, bagaimana relasi kuasa dibangun, dan bagaimana media sering kali menjadi arena tarik-menarik kepentingan. Dari situ saya belajar satu hal penting: media bukan sekadar ruang untuk memberitakan, melainkan arena pertarungan makna.

Menemukan Ruh Kolaborasi
Pengalaman itu kemudian membawa saya pada kesadaran bahwa media lokal harus punya strategi bertahan di tengah derasnya arus digital. Pada tahun 2015, bersama rekan-rekan, saya ikut menggagas Asosiasi Media Online (AMO) Bali. Tujuannya sederhana tapi penting: membangun wadah kolaborasi antar media online lokal agar lebih kuat menghadapi gelombang digitalisasi dan lebih profesional di mata publik.

Beberapa tahun setelah itu, tepatnya 2020, saya ikut menggagas Beranda Netizen. Ia bukan sekadar kumpulan akun media sosial, tetapi wadah pengelolaan jaringan dengan ratusan ribu pengikut di setiap akun, bahkan ada yang mencapai lebih dari 700 ribu. Jaringan ini menjadi ruang baru bagi media untuk terhubung dengan publik yang semakin digital.

Lalu pada tahun 2021, saya ikut mendirikan Paiketan Wartawan Hindu (Pandu). Komunitas ini bukan sekadar forum solidaritas, tetapi ruang untuk meneguhkan identitas jurnalis Hindu Bali dalam lanskap media yang semakin majemuk. Dari sana lahir percakapan-percakapan baru tentang etika, identitas, dan peran jurnalisme di tengah masyarakat Bali.

Selain itu, saya ikut mendorong lahirnya lebih dari lima media online lokal Bali untuk terverifikasi Dewan Pers, lewat model kolaborasi. Saya juga ikut mendampingi banyak jurnalis muda, membimbing mereka menulis, meliput, hingga akhirnya berkembang menjadi pengelola media sendiri. Itu bagian yang membuat saya merasa berhutang sekaligus bangga: estafet jurnalisme lokal tetap hidup.

Inspirasi dari Para Arsitek Media
Di perjalanan ini, saya juga belajar dari mereka yang bisa disebut arsitek media. Jakob Oetama membangun Kompas bukan hanya sebagai koran, tapi sebagai pilar kebangsaan yang tahan puluhan tahun. Dahlan Iskan dengan Jawa Pos Group mengajarkan pentingnya inovasi dan keberanian menembus batas. Najwa Shihab lewat Narasi menunjukkan bagaimana media digital bisa menghidupkan kembali percakapan publik dengan cara yang segar.

Di luar negeri, ada Katharine Graham yang mengarsiteki The Washington Post melewati krisis Watergate, atau Arianna Huffington yang melahirkan Huffington Post sebagai salah satu pionir media digital global. Di tingkat lokal, saya melihat beberapa contoh menarik, misalnya Texas Tribune di Amerika Serikat yang lahir sebagai media lokal nonprofit dan berhasil memadukan jurnalisme dengan kekuatan komunitas. Semua itu memperlihatkan satu pola: media bisa dibangun dengan visi yang jauh melampaui ruang redaksi, jika ada orang-orang yang berani mengarsitekturnya.

Media sebagai Ruang Sosial
Dari semua pengalaman itu, saya semakin yakin bahwa pers tidak pernah lahir dari ruang kosong. Ia lahir dari kebutuhan sosial, tumbuh dari aspirasi masyarakat, dan semestinya kembali memberi dampak pada kehidupan mereka. Dalam konteks Bali, pers lokal punya tanggung jawab menjaga identitas Bali. Tidak cukup hanya memberitakan upacara atau pariwisata, tetapi harus mampu merawat nilai, budaya, dan cara pandang orang Bali di tengah arus globalisasi.

Era digital membuat dunia saling terhubung dalam hitungan detik. Bali dengan segala keunikannya bisa tergerus jika tidak punya ekosistem media yang sehat. Karena itu saya percaya, membangun ekosistem media lokal bukan hanya urusan bisnis, tetapi soal menjaga jati diri.

Podium Ecosystem dan Mimpi Literasi Desa
Dari sinilah lahir Podium Ecosystem, sebuah ekosistem media yang saya gagas. Ia terdiri dari PodiumNews sebagai media lokal yang reflektif dan kredibel, UrbanBali yang menyapa ruang gaya hidup modern, Podium Kreatif sebagai konsultan media, Kedai Kopi Redaksi sebagai ruang fisik perjumpaan, hingga penerbitan buku reflektif seperti JEDA: Catatan Renungan Seorang Jurnalis Tentang Kopi, Hidup dan Makna.

Namun bagi saya, Podium Ecosystem tidak boleh berhenti sebagai entitas usaha. Ia harus menjadi ruang untuk mendidik literasi dan jurnalis desa. Saya ingin media ini menjadi tempat anak-anak muda desa belajar menulis, belajar memahami peran pers, dan belajar menjaga suara komunitas mereka. Sebab saya yakin, masa depan pers lokal ada di desa. Jika desa kuat secara literasi, maka media lokal pun akan tumbuh sehat.

Menulis Sebagai Ruang Pulang
Kini, saya juga sedang menyiapkan tiga buku tentang media dan pers, termasuk dinamika perkembangan media berbasis digital di Bali. Menulis bagi saya bukan sekadar dokumentasi, tetapi cara untuk pulang ke akar. Pulang ke ruang di mana pengalaman, nilai, dan pergulatan bisa ditata ulang menjadi pengetahuan yang bisa diwariskan.

Semua perjalanan ini bukan tentang kesempurnaan. Saya hanyalah orang biasa yang kebetulan diberi jalan untuk menekuni media dari berbagai sisi: dari aktivis kampus, jurnalis, redaktur, organisator, hingga penggagas ekosistem. Tapi dari jalan itulah saya belajar bahwa media harus selalu diarsiteki, tidak dibiarkan tumbuh liar. Karena hanya dengan arsitektur yang sadar, media bisa menjadi rumah yang kokoh bagi masyarakatnya. (*)

Menot Sukadana

Baca juga :
  • Ujian yang Bernama Uang
  • Belajar Menunduk, Belajar Berbenah
  • Menunggu Waktu Tumbuh