Podiumnews.com / Kolom / Jeda

Hari Raya di Era Serba Cepat

Oleh Nyoman Sukadana • 17 November 2025 • 17:18:00 WITA

Hari Raya di Era Serba Cepat
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

PADA masa kecil, liburan Galungan selalu datang seperti jeda panjang yang membebaskan kami dari hiruk pikuk sekolah. Liburnya terasa luas, seolah waktu sengaja memperlambat langkahnya agar kami bisa pulang kampung dengan hati riang. Perjalanan pulang menjadi cerita kecil yang selalu saya tunggu. Jalan yang berdebu, hamparan sawah, dan udara yang lebih segar memberi tanda bahwa rumah sudah dekat.

Begitu tiba, halaman rumah tua penuh oleh saudara yang berdatangan dari berbagai arah. Ada suara tawa yang saling menyahut, aroma masakan dari dapur, dan kursi yang ditambah agar semua bisa duduk bersama. Kami berlarian di antara kaki orang dewasa yang sibuk menyiapkan Galungan. Tangan kecil kami membantu apa saja yang bisa, meski lebih sering hanya menjadi alasan untuk ikut bermain dari satu sudut ke sudut lain.

Segalanya berjalan pelan. Tidak ada yang saling mendesak. Tidak ada yang tergesa menuntaskan pekerjaan. Setiap persiapan seakan bagian dari perayaan itu sendiri. Hari-hari menjelang Galungan menjadi ruang untuk merasa dekat, baik dengan keluarga maupun dengan diri sendiri. Suasananya lembut dan hangat, meninggalkan jejak yang tidak pernah benar-benar hilang dari ingatan.

Galungan hari ini berbeda. Ia datang dengan ritme yang cepat dan padat. Penjor tinggal pasang, banten tinggal ambil, lawar tinggal pesan. Rumah berubah seperti ruang produksi yang harus selesai sebelum siang. Di luar, lalu lintas padat dan orang-orang membawa daftar belanjaan seperti sedang berlomba menuntaskan tugas. Waktu yang dulu terasa luas, kini serasa menyempit.

Perubahan ini tentu tidak salah. Zaman bergerak, dan orang-orang menyesuaikan diri. Namun ada sesuatu yang diam-diam hilang dari perayaan ini. Dulu, Galungan memberi kita ruang untuk kembali ke dalam diri. Sekarang, ia sering menjadi rangkaian hal yang harus cepat selesai agar tampak lengkap.

Di tengah itu semua, saya selalu teringat satu pelajaran lama. Ketenangan tidak pernah datang dari luar. Tumpukan persiapan yang rapi, rumah yang bersih, atau upakara yang lengkap tidak otomatis membawa kedamaian. Ketenangan muncul ketika kita memberi ruang bagi diri sendiri untuk berhenti sejenak dan hadir sepenuhnya. Jika batin tidak tenang, tidak ada kemeriahan yang dapat menggantikannya.

Ada lagi pengingat lain yang terasa semakin relevan. Hidup sebenarnya sederhana, hanya saja manusialah yang sering membuatnya rumit. Kita berlari ke sana kemari, seolah ada sesuatu yang terus harus dikejar. Dalam suasana Galungan, dorongan itu muncul lebih halus. Kita ingin semuanya sempurna, ingin tampak baik, ingin merayakan dengan cara yang terlihat benar. Namun semakin keras kita mengejar kesempurnaan itu, semakin jauh kita dari inti hari raya.

Galungan dulu dan sekarang sama-sama merayakan kemenangan dharma. Yang berubah hanyalah cara kita menjalaninya. Dulu, orang menata pikiran sebelum menata upakara. Sekarang, pikiran kita sering ikut berlari bersama layar ponsel dan daftar pekerjaan. Tradisi masih ada, tetapi kedalaman rasanya sering menyusut.

Padahal kemenangan dharma bukan soal siapa yang paling cepat siap atau siapa yang paling lengkap upakaranya. Kemenangan itu hadir ketika kita mampu memelankan langkah meski dunia di sekitar terus bergegas. Ketika hari raya bisa dijalani tanpa kehilangan keteduhan di dalam diri. Ketika kita ingat bahwa inti Galungan tidak berada di tangan yang bekerja cepat, tetapi di hati yang hadir dengan jernih.

Galungan akan terus berubah mengikuti zaman. Namun selama kita tidak kehilangan ruang untuk menenangkan diri, selama kita memberi kesempatan bagi batin untuk terang, hari raya ini akan tetap membawa makna. Yang penting bukan bagaimana bentuk perayaannya berubah, tetapi bagaimana hati kita menjaganya tetap hidup. (*)

Menot Sukadana