KEHADIRAN Presiden Prabowo di Sidang Umum PBB mengulang jejak diplomasi ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, yang 77 tahun lalu memperjuangkan kedaulatan Indonesia di forum dunia. Di New York pekan depan, sorotan dunia akan tertuju pada panggung megah Sidang Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa. Nama Presiden Prabowo Subianto tercatat sebagai salah satu dari tiga pemimpin dunia yang akan berbicara pada sesi pembukaan setelah Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dan Presiden Amerika Serikat. Momentum itu menjadi panggung strategis, di mana ruangan penuh, kamera internasional terarah, dan setiap kalimat berpotensi membentuk arah diskusi global. Bagi bangsa Indonesia, momen ini bukan sekadar pidato seorang kepala negara. Kehadiran Prabowo di forum PBB menghadirkan gema sejarah, mengulang jejak diplomasi yang pernah ditorehkan ayahnya, almarhum Sumitro Djojohadikusumo, pada masa revolusi. Jejak Sejarah 1948 Pada 1948 sampai 1949, Sumitro, kala itu seorang ekonom muda, memimpin delegasi Indonesia di PBB. Masa itu adalah periode genting, ketika agresi militer Belanda masih berlangsung dan eksistensi Republik yang baru diproklamasikan tengah dipertaruhkan. Di markas besar PBB, Sumitro tidak hanya membawa nama bangsa, tetapi juga tekad sebuah republik muda untuk diakui dunia. Salah satu langkah monumental Sumitro adalah memorandum yang dikirim kepada Pejabat Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Robert A. Lovett, pada Desember 1948. Dokumen itu mengecam agresi militer Belanda sebagai ancaman bagi ketertiban dunia sekaligus menegaskan pelanggaran terhadap Perjanjian Renville. Memorandum tersebut kemudian dimuat oleh The New York Times pada 21 Desember 1948 dan menempatkan suara Indonesia di hadapan publik global. Sumitro juga menjadi motor penggalangan solidaritas Asia. Pada pertemuan di India pada Januari 1949, ia berhasil menghimpun dukungan negara-negara Asia untuk menekan Belanda. Upaya diplomasi itu berbuah manis dengan dibebaskannya para pemimpin Republik, dihentikannya agresi militer, dan akhirnya pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949. Tradisi Diplomasi Keluarga Kini, lebih dari tujuh dekade kemudian, putranya berdiri di panggung yang sama. Bagi Dino Patti Djalal, pendiri Foreign Policy Community of Indonesia, kehadiran Prabowo di forum PBB melanjutkan tradisi diplomasi keluarga Djojohadikusumo. “Kami rakyat Indonesia berharap, sebagaimana almarhum Sumitro, Presiden Prabowo dapat terus memperjuangkan upaya dunia untuk memperkokoh multilateralisme,” ujarnya. Tradisi itu bukan hanya soal garis keturunan. Ia menandai benang merah sejarah tentang bagaimana Indonesia, sejak masa awal berdiri hingga kini, tetap menempatkan diplomasi sebagai salah satu pilar perjuangan bangsa. Panggung Strategis Sabtu 20 September 2025 sore waktu setempat, Presiden Prabowo tiba di Bandar Udara Internasional John F. Kennedy, New York. Kehadirannya menandai dimulainya rangkaian kunjungan kerja di Amerika Serikat untuk menghadiri Sidang Majelis Umum ke-80 PBB. Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya menjelaskan bahwa Prabowo dijadwalkan menyampaikan pidato pada urutan ketiga dalam Debat Umum PBB, Selasa 23 September 2025. “Sesuai jadwal yang diterima, Presiden Prabowo akan menyampaikan pidato pada urutan ketiga, setelah Presiden Brasil dan Presiden Amerika Serikat,” ujar Teddy. Menurut Teddy, sidang tahun ini menjadi momentum penting bagi Indonesia. Selain kembali tampil di forum tertinggi PBB, Indonesia juga akan menegaskan posisinya sebagai pemimpin Global South yang konsisten menyuarakan agenda reformasi tata kelola dunia. “Sidang Majelis Umum tahun ini menjadi momentum penting bagi Indonesia, tidak hanya untuk kembali tampil di level tertinggi pada forum PBB, tetapi juga untuk menegaskan posisi Indonesia sebagai pemimpin Global South yang konsisten memperjuangkan tata kelola dunia yang lebih adil dan inklusif,” katanya. Tenaga Ahli Utama Badan Komunikasi Pemerintah, Hamdan Hamedan, juga menekankan arti penting momen ini. “Pada saat ruangan penuh, atensi dunia tertuju, dan pesan yang disampaikan dapat membentuk nada serta arah diskusi utama,” ujarnya. Benang Merah yang Mengikat Dari Sumitro ke Prabowo, ada benang merah diplomasi yang tetap terjaga. Jika sang ayah berjuang membawa nama republik muda agar diakui dunia, kini sang anak membawa nama Indonesia yang sudah mapan sebagai negara besar, untuk menegaskan peran dalam menjaga tatanan global. Di podium PBB, suara itu akan bergema. Bukan sekadar suara seorang presiden, melainkan gema sejarah yang panjang, dari memorandum 1948 hingga pidato 2025. Sejarah diplomasi Indonesia seakan berputar kembali, mempertemukan dua generasi keluarga yang sama dalam panggung dunia yang sama. Bagi bangsa ini, momen itu adalah pengingat bahwa diplomasi bukan sekadar retorika, melainkan perjuangan panjang untuk menjaga martabat dan kedaulatan. Dari ayah ke anak, dari masa lalu ke masa kini, Indonesia kembali berbicara di hadapan dunia. (riki/sukadana)
Baca juga :
• Habibie, Ketika Kekuasaan Bukan Segalanya
• Serati Banten yang Membesarkan Pemimpin
• Ngopi Bareng Gubernur: Ketika Kekuasaan Duduk di Kursi Kayu