Podiumnews.com / Kolom / Jeda

Belajar Menunduk, Belajar Berbenah

Oleh Nyoman Sukadana • 24 September 2025 • 22:02:00 WITA

Belajar Menunduk, Belajar Berbenah
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

HIDUP kadang menegur lewat cara yang tak kita sangka. Saya pernah mendengarnya dari seorang kawan lama yang tiba-tiba berkata, “Kalimatmu dulu membuatku bertahan.” Padahal bagi saya, itu hanya obrolan sepele yang bahkan sudah lama terlupa. Bagi dia, ternyata kalimat itu menjadi cahaya kecil yang menolong di tengah gelap. Dari situ saya mengerti, bahwa sesuatu yang bagi kita tampak sederhana, bisa begitu berarti bagi orang lain.

Namun kenyataan hidup tidak selalu seteduh sore itu. Sebagai jurnalis, saya tidak kebal dari keliru. Ada masa ketika saya terbawa arus, ikut melakukan hal-hal yang dianggap lumrah dalam profesi kami, meski hati kecil tahu itu tidak sepenuhnya benar. Ada masa ketika saya menutup mata pada hal-hal yang seharusnya saya tolak. Ada pula masa ketika saya merasa mampu mengatur segalanya, padahal sesungguhnya sedang berjalan di tepi jurang. Semua itu kini saya akui dengan rendah hati: saya tidak selalu benar, saya sering keliru.

Kesalahan paling berat terjadi dalam urusan keuangan. Saya pernah terjerat hutang dan pengelolaan yang buruk hingga membawa saya pada kondisi ekonomi yang nyaris ambruk. Rasanya seperti berdiri di ambang keruntuhan, menatap rumah sendiri yang hampir roboh oleh ulah tangan sendiri. Pada akhirnya saya terpaksa melepas sebagian aset keluarga untuk bisa bertahan. Kehilangan itu seperti tamparan keras: bukan hanya soal harta yang hilang, tapi juga harga diri yang tercabik. Rasanya seperti dipaksa menunduk, menyadari bahwa kelalaian bisa membawa pada keruntuhan.

Saya tidak bangga menceritakan ini. Namun saya memilih untuk jujur, sebab luka yang disembunyikan hanya akan menjadi beban. Luka yang diakui bisa berubah menjadi pelajaran. Hutang mengajarkan saya arti kesabaran dan kehati-hatian. Kehilangan aset menyadarkan bahwa harta hanyalah titipan, bukan pegangan abadi. Kekeliruan profesional menegaskan bahwa integritas tidak boleh ditukar dengan kenyamanan sesaat. Semua itu, meski pahit, membuat saya menunduk, mengingatkan bahwa kesombongan hanya akan membawa pada kejatuhan.

Hari ini saya mendekati usia lima puluh tahun, atau kepala lima. Angka ini bukan sekadar hitungan, melainkan penanda bahwa sudah separuh jalan saya tempuh. Lima puluh bukan lagi usia mengejar, melainkan usia berbenah. Saya ingin belajar hidup lebih jernih, lebih bersahaja, dan lebih bermanfaat. Saya ingin memperbaiki hal-hal yang masih bisa diperbaiki, menebus kekeliruan dengan kebaikan, dan menata ulang langkah agar lebih sesuai dengan nilai yang saya yakini.

Saya tahu, berbenah tidak berarti semua luka akan hilang. Tapi berbenah berarti ada niat untuk tidak lagi mengulang kesalahan yang sama. Ada keinginan untuk menjaga hati agar lebih tenang, pikiran agar lebih jernih, dan langkah agar lebih lurus. Saya ingin usia kepala lima ini menjadi awal untuk menata kembali apa yang pernah berantakan.

Podium Ecosystem lahir dari kesadaran itu. Saya tidak membangunnya untuk menjadi besar, melainkan untuk tetap berguna. Saya ingin ia menjadi ruang kecil tempat kejernihan dipelihara, kebersahajaan dijaga, manfaat dirasakan, dan keberlanjutan diusahakan. Empat kata itu menjadi pegangan saya: kejernihan, kebersahajaan, kebermanfaatan, dan keberlanjutan.

Kejernihan, karena dunia hari ini terlalu bising dan orang butuh suara yang apa adanya.
Kebersahajaan, karena hanya dengan rendah hati kita bisa dekat dengan siapa saja.
Kebermanfaatan, karena tanpa guna bagi orang lain semua kerja keras hanya tinggal kebanggaan kosong.
Keberlanjutan, agar apa yang ditanam hari ini tidak padam bersama usia kita, melainkan tumbuh melewati generasi.

Saya tidak tahu sejauh apa perjalanan ini akan membawa. Tapi saya ingin menapak pelan, memastikan setiap langkah punya arti. Mungkin Podium tidak akan pernah besar. Mungkin ia hanya mampu menjangkau lingkaran kecil. Tapi kalau ada satu anak muda yang menemukan keberanian menulis karena belajar di sini, kalau ada seorang warga kecil yang merasa suaranya pernah diangkat, kalau ada seorang pembaca yang merasa lebih tenang setelah membaca refleksi, maka itu sudah cukup.

Saya tidak ingin dikenang karena kesempurnaan, sebab hidup saya jauh dari itu. Saya ingin dikenang karena pernah berusaha jujur, pernah berani mengakui keliru, dan tetap mencoba memberi manfaat meski dengan langkah yang tertatih. Kalau pun hanya ada satu atau dua jejak kecil yang bertahan, satu kata yang menguatkan, satu sikap yang menenangkan, satu cahaya yang memberi arah, itu sudah layak disyukuri.

Usia kepala lima ini bagi saya adalah undangan untuk berbenah. Berbenah bukan berarti menolak masa lalu, tetapi menerimanya apa adanya: dengan segala keliru, luka, dan kehilangan. Karena justru dari masa lalu itulah saya belajar arti cukup, arti sederhana, arti syukur.

Dan bila cahaya kecil dari perjalanan ini mampu menemani langkah satu orang saja, maka hidup ini sudah lebih dari cukup. Saya ingin berjalan terus di jalan yang mungkin sepi tapi jujur, jalan yang mungkin penuh kerikil tapi memberi terang. Karena pada akhirnya, hidup yang baik bukan hidup tanpa salah, melainkan hidup yang berani mengakui salah, belajar darinya, dan tetap menyalakan cahaya kecil yang tidak padam. (*)

Menot Sukadana