Search

Home / Kolom / Jeda

Ujian yang Bernama Uang

Nyoman Sukadana   |    25 September 2025    |   12:31:00 WITA

Ujian yang Bernama Uang
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

SEJAK hampir terjerembab dalam kebangkrutan akibat hutang dan salah urus keuangan, saya kerap mengingatkan sejumlah teman dekat agar berhati-hati dalam mengelola uang. Luka lama itu menjadi pengingat, supaya mereka tidak perlu menanggung pahit yang pernah saya telan. Uang memang terlihat sederhana, hanya angka di atas kertas atau layar ponsel, tetapi ia bisa mengubah baik atau buruknya nasib seseorang, bahkan jalan hidup seluruh keluarga.

Seorang sahabat, yang gayanya kadang terlihat urakan namun selalu tulus mendengarkan, suatu kali bercerita tentang masalah keuangannya. Saya memintanya untuk segera menyelesaikan persoalan itu, agar tidak semakin membesar dan menggerogoti hidupnya. Saya katakan kepadanya, “Orang kepepet uang akibat hutang, akan gampang gelap mata melakukan tindakan penipuan dan penggelapan, meski ia sebetulnya orang baik. Namun kondisilah yang mungkin memaksa dia.” Ia terdiam cukup lama, lalu mengangguk dengan wajah yang berat. Saya tahu, kalimat itu menohok sekaligus menjadi peringatan.

Ada pula seorang teman lain, seorang perantau yang beruntung bisa mengumpulkan tabungan cukup besar. Bedanya, ia pandai menjaga ritme keuangan. Kami sering berdiskusi tentang pengembangan medianya, dan saya menyarankannya untuk tetap melangkah perlahan. Saya tahu ia punya modal, tapi saya mendorongnya untuk lebih disiplin: biarkan keuntungan usaha yang menopang pertumbuhan. Saya mengingatkannya, “Membangun usaha bukan soal gaya-gayaan, tapi soal kita membangun pondasi masa depan untuk mempunyai pilihan hidup yang lebih baik.” Ia mengangguk ringan, seakan meneguhkan keyakinannya sendiri.

Pengalaman membuat saya percaya, urusan uang bisa menghancurkan hidup seseorang. Contohnya mudah ditemui, bahkan di lingkar terdekat kita. Saya teringat pada saudara sepupu yang sempat terpuruk, juga keluarga di kampung yang sabar menahan diri selama puluhan tahun. Hidup mereka sederhana, pekerjaan pun biasa-biasa saja, sebagian hanya buruh bangunan. Namun dengan disiplin, mereka mampu membeli lahan, membangun rumah, bahkan menyekolahkan anak-anak hingga kuliah. Kesabaran ternyata bisa mengubah garis hidup.

Ketika saya hendak melepas sebagian aset keluarga, datang seorang pria berwajah biasa, persis orang desa kebanyakan. Ia bilang ingin membeli separuh lahan, lalu menunjukkan dua rekening untuk meyakinkan saya agar melepas semuanya. Satu rekening saja bernilai belasan miliar; rekening kedua ia buka hanya untuk menegaskan kemampuan. Ia pun berani menawar sedikit di atas harga pasaran. Di balik kesederhanaannya, saya menangkap perhitungan yang rapi: ada nilai ekonomi yang sedang ia incar di lahan itu. Ia tersenyum dan berkata, “Kalau kamu ngotot cuma jual satu are saja, saya mau bangun apa di tanah itu? Sepuluh are saja kamu jual masih belum cukup buat bangun gudang buat usaha saya.”

Kemudian ia bercerita, tabungan itu hasil kerja keras lebih dari tiga puluh tahun. Ia mengisahkan pahit getir membangun usaha selama empat dekade. Katanya, “Membangun usaha itu soal daya tahan dan bantingan. Bisa menahan keinginan saat punya uang, bisa tahan banting melalui masa sulit. Karena usaha itu pasti ada pasang surut. Jadi ketika pegang uang meski sedikit, mending dikumpulkan untuk mengembangkan usaha.”

Dari banyak cerita itu, saya semakin yakin: uang memang selalu datang membawa ujian. Ada yang kalah olehnya, ada pula yang ditempa menjadi lebih kuat. Yang membedakan hanyalah daya tahan, kesabaran, dan kerendahan hati kita untuk tetap hidup sederhana, sekalipun punya cukup. Karena sesungguhnya, ujian yang bernama uang tidak hanya soal berapa yang kita punya, tapi bagaimana kita mengelola dan menanggung konsekuensinya. (*)

Menot Sukadana

Baca juga :
  • Belajar Menunduk, Belajar Berbenah
  • Arsitek Media
  • Menunggu Waktu Tumbuh