Indonesia Masuki Era Popular Discontent, Skor Demokrasi Merosot
YOGYAKARTA, PODIUMNEWS.com - Kualitas demokrasi Indonesia kembali menjadi sorotan setelah lembaga riset internasional The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis laporan terbaru. Hasilnya menunjukkan tren penurunan konsisten dalam indeks demokrasi Indonesia selama empat tahun terakhir. Pada 2021, Indonesia menempati peringkat ke-52. Setahun kemudian turun ke posisi 54, lalu 56 pada 2023, hingga kini terperosok ke peringkat 59 pada 2024 dengan skor hanya 6,44 dari skala tertinggi 10.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Fina Itriyati PhD., menyebut situasi ini sebagai tanda masuknya Indonesia dalam era Popular Discontent atau ketidakpuasan publik yang meluas. “Pasca reformasi, Indonesia pernah dipuji sebagai model demokrasi paling sukses di Asia Tenggara. Namun, sekarang kita berada pada fase kemunduran dengan gelombang ketidakpuasan rakyat,” ujar Fina dalam kuliah umum “Masa Depan Demokrasi di Popular Discontent” di Auditorium Fisipol UGM, Rabu (24/9/2025).
Menurutnya, popular discontent ditunjukkan lewat meningkatnya protes sosial, polarisasi politik, dan melemahnya kepercayaan publik terhadap institusi negara. Fenomena ini mempertegas adanya jurang antara ekspektasi rakyat dan kinerja sistem demokrasi yang berjalan.
Hal senada diungkapkan Professor University of Melbourne, Prof Vedi Hadiz. Ia menilai, demokrasi tidak akan mampu bekerja optimal dalam kondisi kesenjangan sosial yang terus melebar. “Dalam keadaan seperti sekarang, apa yang bisa kita harapkan dari demokrasi? Demokrasi tidak mungkin berjalan sebagaimana mestinya di tengah ketidaksetaraan,” tegasnya.
Vedi menjelaskan, ketidakpuasan publik di Indonesia berhubungan langsung dengan neoliberalisasi global. Arus globalisasi ekonomi yang memperkuat konektivitas justru memperbesar kesenjangan. Kondisi itu mencerminkan paradoks: kekayaan material dan produksi meningkat, tetapi distribusinya tidak merata.
“Instrumen yang dipakai seperti Gini Ratio menunjukkan Indonesia semakin tidak merata. Tetapi instrumen itu saja tidak cukup menangkap kompleksitas masalah kesenjangan sosial,” jelasnya.
Ia juga menyoroti persoalan mobilitas sosial yang semakin sulit ditembus oleh masyarakat kelas bawah. Menurutnya, banyak pekerja di Indonesia menghadapi situasi di mana penghasilan tidak sebanding dengan usaha yang dicurahkan. “Kalau di Jawa disebutnya nerimo, pasrah dengan keadaan,” kata Vedi.
Akumulasi ketidakpuasan itu, lanjutnya, sering memicu aksi protes besar di masyarakat. Namun, pemerintah dinilai gagal mengelola situasi dengan merumuskan kebijakan publik yang berpihak pada kepentingan rakyat luas. “Kebijakan yang seharusnya melayani kepentingan umum, lebih sering justru menguntungkan kelompok elit dan pemilik modal,” ungkapnya.
Ia mengingatkan bahwa demokrasi pada hakikatnya adalah arena kontestasi. Namun, tidak semua kepentingan memiliki posisi setara di dalam arena itu. Dominasi kelompok kaya membuat suara masyarakat banyak sering terpinggirkan.
Dengan tren penurunan indeks demokrasi yang berulang, para akademisi menekankan perlunya langkah serius memperkuat instrumen pengawasan, memperbaiki kesenjangan sosial, dan memastikan kebijakan publik benar-benar berpihak pada rakyat. Tanpa perbaikan itu, demokrasi Indonesia dikhawatirkan terus terjebak dalam era popular discontent yang justru semakin melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem yang ada.
(riki/sukadana)