KASUS keracunan yang menimpa sejumlah siswa di Kabupaten Bandung Barat kembali menimbulkan keprihatinan mendalam. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dirancang sebagai prioritas nasional dengan visi meningkatkan gizi anak bangsa, justru tercoreng oleh lemahnya pelaksanaan di lapangan. Peristiwa di dua dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Cipari dan Neglasari menjadi peringatan keras bahwa program sebesar ini tidak bisa hanya dijalankan dengan semangat, tetapi harus diiringi tata kelola yang ketat dan penuh tanggung jawab. DPR RI melalui Wakil Ketua Cucun Ahmad Syamsurijal telah menegaskan pentingnya penguatan program MBG melalui Peraturan Presiden (Perpres). Desakan ini bukan sekadar prosedural, melainkan kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa Badan Gizi Nasional (BGN) memiliki landasan hukum kuat dalam bersinergi lintas kementerian dan lembaga. Tanpa payung hukum yang jelas, koordinasi hanya akan bersifat sementara dan bergantung pada itikad baik antarinstansi, padahal yang dipertaruhkan adalah kesehatan dan masa depan jutaan anak. Kita memahami bahwa Presiden menaruh perhatian besar pada gizi anak bangsa. Program MBG adalah gagasan visioner yang patut diapresiasi. Namun sebagaimana diingatkan banyak kalangan, niat baik harus berjalan seiring dengan kemampuan teknis. Menyediakan makanan bagi puluhan juta siswa setiap hari adalah pekerjaan raksasa yang membutuhkan standar operasional ketat, ketersediaan tenaga terlatih, pengawasan berlapis, hingga kesiapan fasilitas. Jika salah satu mata rantai ini rapuh, akibatnya fatal: makanan yang seharusnya menyehatkan justru berubah menjadi sumber penyakit. Pelaksanaan di lapangan menunjukkan masih banyak celah yang harus diperbaiki. Standar keamanan pangan kerap diabaikan, tes organoleptik jarang dilakukan secara konsisten, dan alat uji pangan belum tersedia di seluruh dapur SPPG. Padahal, mengolah ribuan porsi makanan dalam waktu singkat membutuhkan pengawasan ekstra ketat. Keterlambatan atau kelalaian sekecil apa pun dapat membuka jalan bagi bakteri dan kontaminan berbahaya yang berujung pada keracunan massal. Di sinilah peran Perpres menjadi sangat penting. Sebuah regulasi yang kuat akan memastikan bahwa BGN tidak berjalan sendiri, melainkan mendapat dukungan penuh dari Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, BPOM, hingga Kementerian Keuangan. Perpres dapat menjadi instrumen pengikat yang mengatur sinergi, membagi peran, dan menjamin bahwa pemulihan kejadian luar biasa akibat keracunan tidak lagi dibebankan kepada daerah, melainkan menjadi tanggung jawab nasional. Lebih jauh, regulasi yang kuat juga akan mendorong terbentuknya forum komunikasi antara sekolah, komite sekolah, dan dapur SPPG. Forum semacam ini dapat menjadi ruang pengawasan bersama, menumbuhkan rasa tanggung jawab kolektif, sekaligus memberikan saluran aspirasi bagi orangtua. Dalam program sebesar MBG, keterlibatan masyarakat adalah kunci. Orangtua, guru, dan komite sekolah tidak boleh hanya menjadi penerima pasif, melainkan turut menjadi pengawas yang aktif. Kita percaya bahwa program MBG bukan sekadar soal makanan. Ia adalah cermin dari keseriusan negara hadir dalam pemenuhan gizi generasi muda. Namun kepercayaan publik hanya akan terjaga bila setiap langkah dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian. Satu kasus keracunan mungkin bisa disebut insiden, tetapi rangkaian kasus yang terus berulang akan mengikis kepercayaan dan menodai reputasi program. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh menunggu lebih lama. Perpres untuk memperkuat MBG harus segera diterbitkan, pengawasan harus dipertegas, dan evaluasi menyeluruh wajib dilakukan sejak awal hingga akhir tahun pelaksanaan. Jangan biarkan visi besar Presiden dipatahkan oleh kelemahan teknis di lapangan. Pada akhirnya, anak-anak kita berhak mendapatkan makanan yang bukan hanya bergizi, tetapi juga aman. Mereka tidak boleh menjadi korban dari kegagalan sistem yang seharusnya melindungi. Solidaritas masyarakat yang sigap membantu saat bencana keracunan patut diapresiasi, tetapi jauh lebih mulia bila negara hadir mencegah agar tragedi semacam ini tidak pernah terulang. Program MBG harus diperkuat, bukan dipertaruhkan. Dan Perpres adalah langkah awal untuk menjaga marwahnya. (*)
Baca juga :
• Bali Melawan Rabies
• Merawat Sungai, Menjaga Kota
• Tumpek Landep dan Sungai yang Kotor