Search

Home / Kolom / Jeda

Sepotong Kertas di Laci

Nyoman Sukadana   |    27 September 2025    |   06:19:00 WITA

Sepotong Kertas di Laci
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

HUJAN turun sore itu, mengetuk genteng dengan suara pelan yang terus-menerus. Udara menjadi lembap, aroma kertas yang basah bercampur dengan debu yang lama bersarang di sudut ruangan. Di ruang redaksi yang selalu sepi, tumpukan kertas usang dan map lusuh diturunkan satu per satu dari rak. Beberapa lembar jatuh ke lantai, sebagian lain terbuka memperlihatkan catatan yang sudah lama ditinggalkan. Di tengah kesibukan merapikan itu, sebuah laci lama tersingkap. Dari sana muncul selembar kertas yang sudah kusam, lipatannya rapat, tintanya mulai pudar, namun masih sanggup menyimpan cerita.

Sehelai kertas kecil mampu menyalakan kembali ingatan yang sudah lama berdebu. Barisan huruf yang tak sempurna mengingatkan pada tangan yang pernah gemetar menuliskannya. Mungkin sebuah janji, mungkin doa, atau sekadar coretan keseharian yang tanpa sadar ditinggalkan. Yang pasti, kertas itu tak lagi sekadar benda. Ia adalah pintu kecil menuju ruang yang pernah ada.

Kita sering berpikir bahwa ingatan hidup di kepala, padahal banyak tersimpan pada benda sederhana di sekitar kita. Laci yang jarang dibuka, dompet yang sudah lama terlipat, atau buku yang tak lagi dibaca. Semua menjadi gudang sunyi, tempat potongan hidup bersembunyi tanpa kita sadari. Dan ketika kita menemukannya kembali, ia seperti menyalakan lampu kecil di sudut gelap kehidupan kita.

Tulisan yang rapuh itu seakan membawa suara. Kita bisa membayangkan seseorang yang menunduk di meja, menulis dengan tergesa atau justru dengan penuh hati-hati. Ada rasa yang tumpah ke atas kertas, rasa yang mungkin terlalu sulit diucapkan. Ada getar kecil yang masih menempel pada huruf, seolah waktu berhenti di sana.

Dalam selembar kertas itu, ada pelajaran tentang betapa rapuhnya ingatan manusia. Kita mudah lupa, mudah menumpuk hari-hari baru hingga yang lama terbenam begitu saja. Padahal, setiap catatan kecil, meski hanya secarik kertas, bisa menjadi pengingat betapa berharganya satu momen dalam hidup. Catatan itu mungkin tak pernah dimaksudkan untuk abadi, tapi justru karena rapuh ia terasa jujur.

Ada orang yang menyimpan hidupnya dalam buku harian tebal, ada pula yang hanya menitipkannya pada kertas seukuran telapak tangan. Tak ada yang lebih mulia, karena keduanya sama-sama usaha manusia melawan lupa. Sama-sama cara sederhana untuk berkata: aku pernah ada, aku pernah merasa. Dan sering kali, apa yang ditulis itu jauh lebih jujur daripada apa yang sanggup kita katakan.

Selembar kertas di laci juga mengingatkan bahwa tidak semua janji terpenuhi, tidak semua doa terkabul, tidak semua mimpi sampai tujuan. Tapi keindahannya justru di sana. Bahwa hidup memang bergerak, berubah, dan kadang meninggalkan kita di tengah jalan. Namun, apa yang pernah dituliskan tetap menyimpan kehangatan, seperti pelukan yang datang terlambat tapi masih memberi rasa.

Membaca kembali tulisan lama membuat kita sadar bahwa diri kita yang dulu tidak sama dengan diri kita sekarang. Ada jarak waktu yang memisahkan, ada pengalaman yang menambah lapisan. Kadang kita tersenyum melihat kepolosan masa lalu, kadang kita menyesal karena tahu janji itu tidak pernah ditepati. Tetapi justru di situlah manusia belajar. Kita diajak untuk tidak menghakimi masa lalu, melainkan menerimanya sebagai bagian dari perjalanan.

Laci bisa ditutup kembali, kertas bisa disimpan lagi, namun sesuatu sudah berbeda. Ada bagian diri yang disentuh, ada ingatan yang dibangunkan, ada pelajaran yang diam-diam menetap. Kita tak mungkin kembali ke hari ketika kertas itu ditulis, tapi kita bisa menghargai bahwa hari itu pernah ada.

Setiap orang memiliki “laci” dalam hidupnya. Ada yang berisi benda-benda nyata, ada pula yang berupa ruang batin di dalam diri. Kadang kita menutup rapat karena tidak siap menghadapinya. Namun ketika suatu hari terbuka, kita disadarkan bahwa apa yang kita simpan, betapa pun kecil dan remeh, ternyata ikut membentuk siapa kita hari ini.

Dan mungkin, itu inti dari hidup: menjaga jejak kecil agar tidak sepenuhnya hilang. Bukan untuk menahan waktu, tapi untuk menyadari bahwa setiap hari punya arti. Karena pada akhirnya, bukan seberapa besar kita dikenal dunia yang penting, melainkan seberapa jujur kita meninggalkan jejak, meski hanya berupa selembar kertas yang terselip di laci tua. (*)

Menot Sukadana

Baca juga :
  • Belajar Menyerah Tanpa Kalah
  • Ujian yang Bernama Uang
  • Belajar Menunduk, Belajar Berbenah