SABTU (27/9/2025) sore, udara di Wanagiri, Sukasada, Buleleng, terasa lembap selepas hujan tipis. Jalan raya yang menghubungkan Singaraja dan Bedugul belum terlalu ramai. Di pinggir jalan itu, sebuah warung kecil berdinding papan menjadi saksi pertemuan hangat antara seorang pemimpin dan rakyatnya. Dalam perjalanan meninjau proyek shortcut Singaraja–Mengwitani dan pembangunan Turyapada Tower di Pegayaman, Gubernur Bali Wayan Koster tiba-tiba menghentikan laju mobil dinasnya sekitar pukul 16.30 Wita. Ia turun perlahan, menyeberang jalan, lalu berjalan ke arah warung sederhana milik Ni Nyoman Rina, perempuan sepuh berusia 85 tahun yang saban hari menjajakan buah timbul (kluwih), nangka, dan jajanan tradisional di meja kayu kecil di depan rumahnya. Tanpa protokol berlebihan, Koster tersenyum ramah dan langsung menyapa sang nenek. “Bu, timbulnya masih segar ya?” ujarnya sambil menunjuk ke tumpukan buah yang ditata rapi. Nyoman Rina, yang semula tak menyadari siapa tamunya, tampak terkejut begitu mengenali wajah sang Gubernur. “Titiang (saya, red) tidak menyangka Bapak Gubernur singgah ke warung tiang,” katanya lirih, matanya berbinar campur haru. Koster lalu memborong semua dagangan yang tersisa. Ia menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu, sambil menepuk lembut tangan sang nenek. “Ini untuk Ibu, jaga kesehatan selalu, ya,” ucapnya hangat. Sekitar pukul 16.45 Wita, suasana warung mendadak ramai. Warga sekitar berdatangan. Seorang bocah SD bernama Kadek Deva dengan malu-malu mendekat. “Ayo sini foto,” ajak Koster sambil tersenyum. Setelah berfoto, ia menyelipkan uang saku ke tangan sang bocah dan berpesan lembut, “Ingat, rajin sekolah, rajin belajar, ya.” Adegan kecil itu berlangsung hanya belasan menit, namun meninggalkan kesan mendalam bagi warga setempat. Seorang warga yang menyaksikan langsung menyebut momen itu menggambarkan kepribadian Gubernur yang sederhana dan dekat dengan masyarakat kecil. “Bapak Koster memang sering turun langsung. Tapi kami tidak menyangka beliau mau mampir ke warung sekecil ini,” ujar salah satu warga. Bagi Koster, singgah di warung seperti ini bukan hal baru. Dalam berbagai kesempatan kunjungan kerja, ia kerap menyempatkan waktu berhenti di tempat rakyat kecil berjualan, sekadar menyapa, membeli dagangan, atau mendengarkan cerita mereka. Peristiwa di warung Nyoman Rina hari itu menjadi pengingat bahwa kepemimpinan tidak selalu ditunjukkan lewat podium megah atau peresmian proyek besar. Kadang justru hadir dalam keheningan sore, di warung sederhana, melalui senyum dan sapaan hangat yang menumbuhkan harapan. Bagi Nenek Rina, Sabtu sore itu menjadi kenangan berharga di usia senjanya. “Titiang tidak pernah mimpi, Bapak Gubernur mau beli dagangan titiang,” ujarnya pelan. Matanya berkaca-kaca, bukan karena nilai uang, melainkan karena merasa dihargai. Dan mungkin, bagi banyak orang yang menyaksikannya, sore di Wanagiri itu mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati dimulai dari hal sederhana: menatap mata rakyat kecil, dan menyapa dengan hati. (sukadana)
Baca juga :
• Tempe Tradisional Hairudin, Bertahan di Tengah Modernisasi
• Desa Bali di Tanah Mandar Menuju Desa Wisata
• Nikita Shilametsa, Investor yang Peduli Kelestarian Bali