PULAU Bali masih menyimpan luka lama yang belum sembuh. Sejak wabah rabies pertama kali muncul pada 2008, pulau ini belum benar-benar keluar dari status zona merah. Upaya vaksinasi dijalankan, kampanye pencegahan digencarkan, namun nyawa manusia masih melayang akibat gigitan anjing yang tidak divaksin. Di tengah geliat pariwisata dan wacana pembangunan hijau, ancaman rabies tetap menjadi bayang-bayang yang sulit diusir. Fakta bahwa Kabupaten Jembrana kini mencatat jumlah gigitan hewan penular rabies tertinggi di Bali menandakan satu hal penting. Kesadaran publik rapuh, dan tata kelola kesehatan hewan di tingkat akar rumput belum berjalan semestinya. Dalam sembilan bulan terakhir, rata rata 550 kasus gigitan dilaporkan setiap bulan di kabupaten ini, dengan 96 kasus dinyatakan positif rabies. Dari 51 desa dan kelurahan, 49 masih berstatus zona merah. Angka sebesar ini seharusnya membunyikan lonceng darurat. Peringatan World Rabies Day di Rest Area Desa Pengeragoan, Jembrana, Minggu 28 September 2025, menjadi pengingat bahwa wabah ini bukan semata persoalan medis. Ia juga soal budaya kepedulian. Sekretaris Daerah Provinsi Bali, Dewa Made Indra, menegaskan pentingnya tindakan cepat ketika seseorang tergigit hewan penular rabies. Keselamatan korban sangat bergantung pada kecepatan mencari pertolongan medis. Kesadaran itu sederhana, tetapi kerap datang terlambat. Keterlambatan menjadi benang merah dalam banyak kematian akibat rabies. Sebagian warga memilih menunggu, mengobati luka dengan bahan tradisional, atau menganggap gigitan anjing peliharaan tidak berbahaya. Padahal penyebaran virus rabies bergantung pada lokasi gigitan. Semakin tinggi letak luka pada tubuh, semakin cepat virus menyerang otak dan mempercepat kematian. Dalam kasus rabies, waktu adalah soal hidup dan mati. Hanya tenaga medis yang berwenang menentukan seseorang terinfeksi atau tidak. Rendahnya cakupan vaksinasi hewan di Jembrana memperparah keadaan. Jika ribuan anjing peliharaan dan anjing liar dibiarkan tanpa vaksin, setiap gigitan adalah potensi tragedi. Karena itu seruan agar Pemerintah Kabupaten Jembrana mempercepat vaksinasi massal patut didukung. Pemerintah provinsi telah menyatakan siap memperkuat dukungan tenaga dan ketersediaan vaksin. Dukungan ini harus diterjemahkan menjadi jadwal lapangan yang jelas, terutama di desa-desa zona merah. Rabies bukan penyakit yang tidak bisa dikendalikan. Banyak daerah berhasil bebas berkat kolaborasi antara pemerintah, tenaga medis, dokter hewan, dan masyarakat. Masalah Bali selama ini adalah pola kerja yang reaktif. Saat kasus melonjak, semua bergerak. Saat mereda, kewaspadaan kembali kendur. Pola pikir ini mesti diubah. Vaksinasi hewan peliharaan harus menjadi layanan publik yang rutin dan terjadwal, bukan program musiman yang bergantung pada momentum peringatan. Pengendalian rabies juga lintas sektor. Ia terkait penataan lingkungan, kepadatan permukiman, penanganan anjing liar, serta perilaku pemilik hewan. Banyak gigitan terjadi karena anjing dibiarkan berkeliaran tanpa pengawasan. Sebagian pemilik enggan memvaksin karena biaya atau akses. Sebagian lain tidak tahu lokasi layanan. Pemerintah daerah perlu memperbaiki rantai informasi dan layanan. Pos vaksinasi keliling, jadwal yang mudah diakses warga, panggilan layanan di banjar, dan pelibatan aparat desa serta relawan adalah kunci mengisi celah implementasi. Momentum ini juga selaras dengan semangat kebijakan lain di Bali. Ketika pemerintah berbicara tentang keberlanjutan dan perlindungan ruang hidup, kesehatan manusia dan hewan adalah pondasi paling dasar. Jembrana mungkin berposisi di ujung barat pulau, namun keberhasilannya menekan rabies menjadi kunci agar Bali tidak lagi ditetapkan sebagai zona merah nasional. Keberhasilan satu kabupaten akan mengangkat derajat seluruh pulau di mata pemerintah pusat. Target harus jelas dan terukur. Pertama, cakupan vaksinasi hewan penular rabies di Jembrana perlu naik secara signifikan pada triwulan terakhir tahun ini. Kedua, layanan pasca gigitan di puskesmas dan rumah sakit harus tersedia tanpa hambatan, termasuk ketersediaan vaksin manusia dan imunoglobulin bila diperlukan. Ketiga, edukasi publik harus menetap di ruang-ruang warga, tidak hanya di poster dan baliho. Penyuluhan di sekolah, pasar, dan banjar dapat membentuk kebiasaan baru yang menyelamatkan nyawa. Pada akhirnya rabies bisa dicegah. Tidak ada alasan satu pun bagi seseorang meninggal karena gigitan anjing. Pemerintah dapat menyediakan vaksin, dokter dapat berjaga, namun tanpa kesadaran kolektif semua menjadi sia-sia. Rabies tidak mengenal batas desa atau kabupaten. Ia hanya mengenal satu kelemahan yang bisa kita ciptakan bersama, yaitu kewaspadaan yang konsisten. Kini saatnya Bali belajar dari luka panjangnya sendiri. Kesembuhan bukan hanya soal jarum vaksin. Ia juga tentang kebiasaan menjaga, segera melapor, dan bertindak cepat. Bila kebiasaan ini tumbuh, barulah kita dapat berharap Bali benar-benar sembuh. Bukan hanya dari rabies, tetapi juga dari penyakit lama bernama abai. (*)
Baca juga :
• Perpres untuk MBG
• Merawat Sungai, Menjaga Kota
• Tumpek Landep dan Sungai yang Kotor