HIDUP tidak selalu menuntut kita untuk terus berlari. Kadang, yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk berhenti dan menerima bahwa cukup bukan berarti kalah. Karena dalam diam yang sadar, sering kali kita menemukan arti kemenangan yang sesungguhnya. Ashleigh Barty mungkin menjadi contoh terbaik dari makna itu. Ia adalah petenis asal Australia yang lahir pada 24 April 1996 di Ipswich, Queensland. Kariernya dimulai sejak usia remaja, ketika ia menjuarai Wimbledon Junior pada 2011. Setelah itu, langkahnya melesat. Ia menjadi simbol kerja keras dan ketekunan, petenis dengan mental baja dan permainan elegan yang memadukan kekuatan serta kesabaran. Pada 2019, Barty menempati peringkat satu dunia versi WTA, puncak tertinggi yang hanya bisa dicapai oleh sedikit atlet wanita dalam sejarah. Namun yang membuat dunia terdiam bukanlah kemenangannya, melainkan keputusannya. Pada Maret 2022, di usia 25 tahun, setelah memenangkan Grand Slam Australia Open di negeri sendiri, Ashleigh Barty mengumumkan pensiun. Saat ditanya alasannya, ia menjawab pelan namun mantap, “Saya tidak punya lagi dorongan batin untuk terus bersaing. Saya merasa sudah cukup.” Kalimat itu terdengar sederhana, tapi di baliknya tersimpan kebijaksanaan yang langka. Banyak orang menganggapnya menyerah terlalu cepat. Ia masih muda, sehat, dan berada di puncak kejayaan. Tapi Barty tahu apa yang dirasakannya. Sejak lama, ia berjuang bukan hanya melawan lawan di lapangan, tapi juga tekanan batin dan kejenuhan yang tumbuh dari kehidupan profesional yang keras. Ia sempat meninggalkan tenis pada 2014, lalu mencoba bermain kriket selama satu tahun. Ia kembali ke tenis pada 2016 dengan semangat baru, memenangkan gelar demi gelar, hingga akhirnya mencapai puncak. Dan ketika dunia mengira semuanya baru dimulai, Barty justru memilih berhenti. Keputusan itu tidak lahir dari kelemahan, melainkan dari kesadaran bahwa hidup bukan hanya tentang mengejar, tapi juga tentang mengenali saat untuk pulang. Ia memilih kembali ke Queensland, menikah dengan pasangannya, Garry Kissick, menulis buku anak-anak, dan menjalani hari-hari yang sederhana. Tidak ada konferensi besar, tidak ada tangisan perpisahan. Hanya langkah tenang seorang juara yang sudah berdamai dengan dirinya sendiri. Kisah Barty mengingatkan pada sosok legendaris dari dunia fiksi: Forrest Gump. Tokoh ciptaan Winston Groom ini dihidupkan kembali dalam film Forrest Gump yang dirilis pada 1994, disutradarai Robert Zemeckis dan dibintangi Tom Hanks. Film ini meraih enam Piala Oscar, termasuk Film Terbaik dan Aktor Terbaik. Namun lebih dari sekadar penghargaan, Forrest Gump menjadi kisah kehidupan yang abadi, tentang kesederhanaan, ketulusan, dan perjalanan hidup tanpa pamrih. Forrest bukan orang dengan kecerdasan tinggi. Ia lahir di Alabama dengan IQ rendah dan cacat kaki, sering diejek, dan diremehkan. Tapi ibunya, yang diperankan dengan lembut oleh Sally Field, selalu menanamkan kalimat sederhana: “Life is like a box of chocolates. You never know what you’re gonna get.” Hidup, katanya, adalah tentang menerima apa pun yang datang, dan tetap melangkah. Forrest tumbuh menjadi sosok yang luar biasa justru karena ia tidak pernah berniat untuk menjadi luar biasa. Ia berlari karena ingin berlari. Ia bertempur di Vietnam karena ingin membantu temannya. Ia mendirikan perusahaan udang karena janji pada sahabatnya. Semua dilakukan dengan hati yang polos dan tulus. Dan dalam perjalanan hidupnya, Forrest menyentuh kehidupan banyak orang tanpa ia sadari. Namun bagian paling reflektif dari film itu bukan ketika ia menjadi pahlawan perang, atau miliarder yang sukses. Momen paling kuat justru datang ketika Forrest tiba-tiba berhenti berlari. Setelah menempuh ribuan kilometer, melintasi gunung dan padang pasir, diikuti oleh ribuan orang yang menganggapnya pemimpin spiritual, Forrest berhenti. Ia menatap jalan kosong di depannya, lalu berkata tenang, “I’m pretty tired. I think I’ll go home now.” Lalu ia berbalik, meninggalkan kerumunan yang menatap heran. Tidak ada pidato perpisahan, tidak ada tepuk tangan. Hanya langkah kecil menuju rumah. Momen itu adalah metafora kehidupan yang paling jujur: bahwa setiap perjalanan, betapapun panjang dan gemilang, pada akhirnya akan menemukan titik pulang. Ashleigh Barty dan Forrest Gump, dua nama dari dunia yang berbeda, berbagi satu pesan yang sama: bahwa keberanian tidak selalu berarti terus berjuang. Kadang, keberanian adalah berhenti ketika dunia meminta kita terus maju. Bahwa kemenangan sejati bukan soal mengalahkan orang lain, tetapi mengalahkan keinginan untuk terus membuktikan diri. Dalam hidup modern yang bising dan penuh tuntutan, banyak orang terjebak dalam perlombaan tanpa garis akhir. Kita mengejar kesuksesan tanpa tahu mengapa, menumpuk capaian tanpa sempat menikmatinya. Dan sering kali, saat tubuh lelah dan pikiran letih, kita takut mengakuinya karena takut disebut kalah. Barty dan Forrest menunjukkan sisi lain dari keberanian. Mereka tidak kalah, karena mereka tidak melawan siapa pun. Mereka berhenti dengan hati yang tenang, karena sudah menemukan apa yang paling dicari manusia: ketenangan. Forrest pulang ke rumah, duduk di bangku taman, menunggu bus sambil memegang sekotak cokelat. Barty pulang ke rumahnya, menanam sayur, bermain dengan anjing, dan tersenyum pada hidupnya yang kini lebih sederhana. Keduanya memberi pelajaran yang sama bagi siapa pun yang sedang berjuang di tengah hiruk-pikuk dunia. Bahwa hidup bukan tentang siapa yang paling lama bertahan di medan lomba, tapi siapa yang paling tulus dalam melangkah. Bahwa menyerah bukan kegagalan, tapi bentuk tertinggi dari kebijaksanaan. Karena pada akhirnya, setiap orang punya waktu untuk berlari, dan punya saat untuk berhenti. Dan mungkin, ketika kita mampu berhenti dengan tenang, seperti Ashleigh Barty, seperti Forrest Gump, itulah saatnya kita benar-benar menang. (*) Menot Sukadana
Baca juga :
• Sepotong Kertas di Laci
• Ujian yang Bernama Uang
• Belajar Menunduk, Belajar Berbenah