Dari Berita ke Bukti, Menuju Kebijakan Publik
DALAM percakapan tentang kebijakan publik, kita sering terjebak antara dua dunia yang jarang bersentuhan: dunia akademik yang penuh teori dan dunia politik yang dipenuhi kepentingan. Di antara keduanya, publik kerap hanya menjadi penonton dari keputusan yang diambil tanpa cukup pijakan pada bukti. Dalam ruang inilah, policy brief seharusnya hadir bukan hanya sebagai dokumen teknis, tetapi sebagai jembatan akal sehat yang menautkan ilmu pengetahuan dengan kekuasaan.
Dalam Sekolah Wartawan Universitas Gadjah Mada yang digelar Senin (29/9/2025), Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia mengingatkan pentingnya menyusun policy brief berbasis bukti. Ia menegaskan bahwa kebijakan publik yang baik tidak lahir dari perasaan, melainkan dari data dan pertimbangan yang rasional. “Policy brief adalah cara paling tepat untuk memberi masukan agar pemerintah bisa segera bertindak,” ujarnya.
Secara sederhana, policy brief adalah dokumen singkat yang berisi analisis masalah dan rekomendasi kebijakan berdasarkan hasil riset yang kredibel. Bentuknya ringkas, bahasanya mudah dipahami, dan tujuannya jelas: membantu pembuat keputusan menavigasi dilema kebijakan dengan pilihan yang terukur. Lembaga seperti UNESCO bahkan menyebut policy brief sebagai alat komunikasi strategis yang menghubungkan riset dengan tindakan nyata.
Namun, keberadaan policy brief bukan sekadar urusan akademik. Ia merepresentasikan kejujuran berpikir dan keberanian moral. Carol Weiss, pakar kebijakan publik dari Harvard University, pernah menulis bahwa evidence-based policy adalah bentuk kedewasaan demokrasi, karena kebijakan yang baik seharusnya “berakar pada kebenaran, bukan kekuasaan.” Sayangnya, di Indonesia, sebagaimana disinggung Alfath, kebijakan sering kali dibangun di atas intuisi, bukan bukti.
Kita bisa menengok bagaimana dilema itu muncul dalam kasus pembangunan infrastruktur besar atau kebijakan sosial. Pembangunan kereta cepat dan pemindahan ibu kota, misalnya, memperlihatkan betapa kuatnya tarik-menarik kepentingan. Padahal, kebijakan publik idealnya dijalankan dengan panduan logika yang terukur, bukan sekadar hasrat untuk cepat bertindak.
Thomas Dye, ahli kebijakan publik klasik, mendefinisikan kebijakan sebagai “apa yang pemerintah pilih untuk dilakukan atau tidak dilakukan.” Dalam konteks ini, keberadaan policy brief menjadi krusial, karena ia mengarahkan pilihan itu agar tetap berpijak pada rasionalitas publik. Tanpa dokumen yang berbasis bukti, kebijakan berisiko menjadi alat kekuasaan semata, bukan alat untuk menyejahterakan rakyat.
Namun, tantangan terbesarnya justru terletak pada kecepatan. Dunia riset bergerak lambat, sementara dunia kebijakan menuntut keputusan cepat. Alfath menyinggung hal ini dengan menyebut perlunya pendekatan seperti realist synthesis yang mencoba memahami hubungan antara konteks, mekanisme, dan hasil kebijakan. Pendekatan ini berakar dari pemikiran Ray Pawson dan Nick Tilley, dua sosiolog Inggris yang menegaskan bahwa efektivitas kebijakan tidak bisa diukur hanya dari hasil akhir, tetapi dari bagaimana kebijakan bekerja dalam konteks sosial tertentu.
Contohnya terlihat dalam program penanganan stunting melalui Posyandu. Sebuah penelitian mungkin menunjukkan bahwa intervensi nutrisi berhasil menurunkan angka stunting, tetapi tanpa memahami konteks sosial seperti keaktifan kader, dukungan dana desa, atau kepercayaan masyarakat, kebijakan itu bisa gagal ketika diterapkan di tempat lain. Di sinilah policy brief berperan untuk menjembatani hasil penelitian dengan realitas sosial, agar rekomendasi yang disampaikan tidak kehilangan akar di lapangan.
Namun, seperti diingatkan oleh pakar kebijakan publik Brian Head dari University of Queensland, bukti ilmiah bukanlah satu-satunya dasar kebijakan. Dalam tulisannya Three Lenses of Evidence-Based Policy, Head menegaskan bahwa kebijakan juga harus mempertimbangkan nilai-nilai sosial dan dinamika politik. Bukti hanyalah satu dari tiga lensa pembentuk kebijakan, bersama dengan pengalaman praktis dan nilai-nilai normatif masyarakat. Dengan kata lain, policy brief tidak hanya menyajikan data, tetapi juga merajut narasi tentang nilai kemanusiaan di balik angka.
Dalam konteks Indonesia, peran wartawan menjadi sangat penting di titik ini. Wartawan bukan penyusun kebijakan, tapi ia memiliki fungsi penghubung antara riset dan publik. Melalui liputan yang jernih dan berimbang, wartawan bisa memperkuat literasi kebijakan masyarakat, sekaligus menjadi pengingat moral bagi penguasa agar tidak mengabaikan bukti ilmiah dalam membuat keputusan.
Keterlibatan wartawan dalam Sekolah Wartawan UGM menunjukkan arah yang menggembirakan. Ini bukan sekadar pelatihan menulis berita, melainkan proses menumbuhkan kesadaran bahwa jurnalisme yang baik tidak berhenti di pelaporan fakta, tapi juga mengawal logika kebijakan publik. Wartawan yang memahami policy brief akan lebih mampu menulis berita dengan kedalaman analisis dan keberpihakan yang cerdas kepada publik.
Pada akhirnya, kekuatan kebijakan publik tidak diukur dari jumlah proyek atau banyaknya regulasi, melainkan dari sejauh mana keputusan itu berpijak pada akal sehat. Di sinilah peran policy brief menjadi begitu penting: ia menjaga agar rasionalitas tidak tenggelam dalam arus politik, dan agar ilmu pengetahuan tetap memiliki suara di ruang-ruang kekuasaan.
Kebijakan berbasis bukti adalah tanda sebuah bangsa sedang tumbuh menjadi dewasa. Ia menunjukkan bahwa keputusan tidak lagi dibuat karena siapa yang paling keras berbicara, tetapi karena siapa yang paling jernih berpikir. Dan di antara para pemikir dan pengambil keputusan itu, wartawan seharusnya hadir sebagai penjaga akal sehat, memastikan bahwa suara nalar tidak pernah padam di tengah riuhnya kepentingan. (*)
Menot Sukadana (Jurnalis, penggagas Podium Ecosystem: media, konsultan, gaya hidup & ruang publik)