Politik Framing dan Fenomena Menteri Purbaya
Awal Kontroversi
KETIKA Presiden Prabowo melantik Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan pada Senin (8/9/2025), publik sempat dibuat heboh. Pernyataannya tentang tuntutan “17+8” segera memicu gelombang hujatan. Media sosial ramai dengan tagar bernada negatif, bahkan ada yang mendesak agar Presiden mencopotnya.
Namun, hanya dalam hitungan hari, arah angin berubah. Berdasarkan laporan Drone Emprit yang menganalisis percakapan digital di platform X, Facebook, Instagram, TikTok, dan media daring pada 7–16 September 2025, sentimen publik berbalik positif. Dalam laporan itu disebutkan, “sentimen publik perlahan bergeser dari negatif ke optimisme,” seiring munculnya kebijakan awal dan gaya komunikasi baru yang lebih terbuka.
Media daring ikut berperan penting dalam pergeseran ini. Jika media sosial semula didominasi nada sinis, media online justru lebih banyak menyoroti pendekatan teknokratis Purbaya, terutama setelah kebijakan injeksi likuiditas Rp200 triliun diumumkan.
Framing yang Berubah
Perubahan opini publik terhadap Purbaya mencerminkan teori framing yang dikemukakan oleh Robert Entman (1993). Menurutnya, setiap pemberitaan atau narasi media membingkai realitas melalui empat fungsi utama: mendefinisikan masalah, menafsirkan penyebab, melakukan evaluasi moral, dan menawarkan solusi.
Pada awalnya, pemberitaan dan percakapan publik mendefinisikan Purbaya sebagai sosok arogan. Framing moralistik mendominasi, lebih menilai siapa dia ketimbang apa yang ia kerjakan. Namun ketika kebijakan fiskal awal mulai tampak rasional dan komunikasinya berubah lebih kalem, frame publik ikut berubah.
Analisis Drone Emprit Publications menyebut bahwa media arus utama kemudian menyoroti sisi teknokratis, sedangkan media sosial mulai menampilkan narasi “menteri berani yang mau belajar”. Perubahan ini terjadi karena publik mulai menemukan konteks baru yang lebih logis dan emosional sekaligus: Purbaya bukan sekadar pejabat blak-blakan, tetapi teknokrat yang sedang belajar beradaptasi dengan ruang publik.
Media asing seperti The Straits Times menulis tentang gaya komunikasinya yang “cowboy style”, menggarisbawahi keberaniannya berbicara jujur di ruang publik. Sementara beberapa media populer dalam negeri mulai menyoroti efek gaya komunikasinya yang menarik bagi kalangan muda karena dianggap apa adanya.
Konstruksi Makna Politik
Fenomena ini selaras dengan pandangan Murray Edelman dalam bukunya The Construction of Political Spectacle (1988), yang menyebut bahwa politik sejatinya adalah proses penciptaan makna. Menurut Edelman, publik sering kali tidak menilai kebijakan dari substansi teknisnya, tetapi dari simbol, gaya bicara, dan kesan moral yang diciptakan.
Dalam kasus Purbaya, perubahan persepsi publik terjadi bukan karena kebijakan fiskal dipahami secara mendalam, tetapi karena publik melihat perubahan sikap. Ketika ia meminta maaf, tampil lebih rendah hati, dan menunjukkan komitmen untuk belajar, publik menemukan “makna baru” tentang siapa dia. Di titik inilah makna menggantikan opini.
Komunikasi dan Legitimasi
Brian Head dari University of Queensland dalam tulisannya Three Lenses of Evidence-Based Policy (2008) menekankan bahwa kebijakan publik tidak hanya dibentuk oleh bukti ilmiah, tetapi juga pengalaman praktis dan nilai sosial. Purbaya secara sadar mengombinasikan ketiganya. Ia mulai menggunakan bahasa sederhana untuk menjelaskan kebijakan yang rumit, menanggapi kritik dengan tenang, dan tetap fokus pada hasil.
Pendekatan ini berkaitan dengan konsep communicative legitimacy dari Jürgen Habermas (1984). Legitimasi bukan lahir dari jabatan atau kekuasaan, tetapi dari komunikasi yang terbuka dan dialogis. Dalam konteks era digital, kepercayaan publik dibangun bukan lewat pidato, melainkan lewat konsistensi sikap dan bahasa yang mudah dimengerti.
Dengan demikian, legitimasi yang diperoleh Purbaya bukan hasil rekayasa pencitraan, melainkan produk komunikasi yang jujur dan terbuka terhadap publik.
Pelajaran dari Purbaya
Kasus Purbaya memberi pelajaran penting bagi pejabat publik dan komunikator kebijakan. Di era ketika media sosial menjadi arena utama pertarungan makna, reputasi tidak lagi ditentukan oleh siapa yang paling benar, tetapi siapa yang paling mampu mengelola narasi.
Perubahan persepsi terhadap Purbaya membuktikan bahwa kredibilitas dapat tumbuh dari kesalahan, asalkan disertai sikap terbuka, keinginan belajar, dan komunikasi yang jujur. Ia mungkin memulai masa jabatannya dengan hujatan, tetapi menutup minggu pertamanya dengan penghormatan publik.
Dalam politik modern, keberanian untuk mengakui kesalahan dan belajar darinya justru menjadi bentuk kepemimpinan tertinggi. Dari badai kritik menuju penerimaan publik, perjalanan Purbaya menjadi pengingat bahwa di tengah hiruk-pikuk digital, kejujuran dan kerendahan hati tetap menjadi bahasa politik yang paling dipercaya rakyat. (*)
Menot Sukadana