Search

Home / Kolom / Editorial

Setelah Tembok Dirobohkan

Nyoman Sukadana   |    01 Oktober 2025    |   03:57:00 WITA

Setelah Tembok Dirobohkan
Editorial. (podiumnews)

TEMBOK di kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK), Ungasan, akhirnya akan dibongkar. Keputusan itu lahir dari pertemuan antara Gubernur Bali Wayan Koster, Bupati Badung Wayan Adi Arnawa, dan manajemen GWK di Jaya Sabha, Denpasar, Selasa malam (30/9/2025). Mulai 1 Oktober, warga kembali dapat menggunakan jalan yang selama bertahun-tahun menjadi bagian dari kehidupan mereka.

Pembongkaran tembok GWK tentu membawa kelegaan. Bagi masyarakat Ungasan, keputusan ini menandai berakhirnya pembatasan yang menutup akses sosial dan ekonomi warga. Namun di balik rasa lega itu, ada satu pertanyaan yang layak diajukan: apakah pembongkaran ini akan menjadi langkah awal menuju perubahan struktural, atau hanya menjadi peristiwa simbolik yang sebentar lagi dilupakan.

Masalah tembok GWK bukan sekadar urusan satu akses jalan. Ia mencerminkan pola hubungan yang timpang antara industri pariwisata dan masyarakat lokal di banyak kawasan di Bali. Di tengah laju investasi dan pembangunan pariwisata yang terus meluas, suara warga sering kali tenggelam. Ruang publik perlahan menyempit, berganti pagar tinggi dan tanda larangan masuk di atas tanah yang dulu menjadi bagian dari kehidupan bersama.

Karena itu, pembongkaran tembok GWK seharusnya tidak berhenti sebagai respons atas tekanan sosial. Pemerintah perlu menjadikannya momentum untuk menata ulang hubungan antara industri pariwisata dan masyarakat. Sebuah hubungan yang semestinya bersifat saling menghidupi, bukan saling meniadakan.

Bali dibangun di atas prinsip keseimbangan antara manusia dengan alam, antara kemajuan dengan nilai-nilai budaya, antara wisatawan dengan masyarakat yang menjaganya setiap hari. Ketika keseimbangan itu terganggu, pariwisata kehilangan jiwanya. Maka, tugas pemerintah bukan hanya membongkar tembok fisik, tetapi juga menata ulang sistem dan kebijakan agar masyarakat tidak terus tersisih dari ruang hidupnya sendiri.

Langkah ke depan perlu dimulai dengan kebijakan yang lebih kuat dan menyeluruh. Pemerintah daerah bersama DPRD perlu merancang aturan yang menjamin akses publik di kawasan wisata, mempertegas kewajiban sosial bagi pelaku industri pariwisata, serta memastikan bahwa pembangunan tidak mengorbankan hak-hak warga lokal. Tanpa pembenahan di tingkat kebijakan, pembongkaran tembok hanya akan menjadi catatan singkat yang kehilangan makna setelah berita reda.

Industri pariwisata memang menjadi tulang punggung ekonomi Bali. Namun kekuatan ekonomi itu harus berjalan seiring dengan tanggung jawab sosial. Keberhasilan pembangunan tidak hanya diukur dari jumlah wisatawan, tetapi juga dari seberapa besar masyarakat lokal ikut menikmati hasilnya. Warga bukan penghalang, melainkan bagian penting dari ekosistem pariwisata yang berkelanjutan.

Pembongkaran tembok GWK harus dimaknai sebagai peringatan sekaligus peluang. Peringatan bahwa praktik eksklusif yang menyingkirkan masyarakat tidak dapat diterima, dan peluang untuk membangun kembali relasi sosial yang lebih sehat antara industri dan warga.

Bali tidak membutuhkan lebih banyak tembok untuk menunjukkan kemajuan, melainkan lebih banyak ruang untuk berbagi kehidupan. Ruang tempat masyarakat dan wisatawan dapat berjalan berdampingan, saling menghormati, dan saling menghidupi.

Tembok GWK akan runtuh pada 1 Oktober. Namun makna sejatinya akan lahir bila pemerintah menjadikan peristiwa ini sebagai titik awal untuk membongkar sekat-sekat yang lebih halus. Sekat yang selama ini membatasi partisipasi warga dalam pembangunan di tanah mereka sendiri. Karena kemajuan yang sejati tidak diukur dari seberapa besar yang dibangun, tetapi dari seberapa banyak yang merasa dilibatkan. (*)

Baca juga :
  • Ruang Aman yang Masih Belum Inklusif
  • Harga Naik, Kebijakan Lambat
  • Bali Melawan Rabies