Nyoman Sukadana |
01 Oktober 2025 | 09:08:00 WITA
KADANG, sejarah tidak memilih tempat besar untuk menuliskan kisah besarnya. Singapura hanyalah setitik pulau di antara dua raksasa Asia Tenggara. Tidak punya tambang, tidak punya ladang minyak, bahkan air bersihnya pun harus dibeli dari negeri tetangga. Pada tahun 1965, ketika terlempar dari Federasi Malaysia, negara kecil itu seperti anak yatim yang kehilangan rumah dan arah. Lee Kuan Yew berdiri di depan kamera dengan suara bergetar dan mata yang basah. Itu bukan air mata politik, melainkan keputusasaan yang jujur dari seorang pemimpin yang merasa masa depan bangsanya tiba-tiba menghilang. Namun dari air mata itu lahir tekad. Lee tidak mencari alasan, ia mencari jalan. Ia tidak menunggu keberuntungan, tetapi menata ulang fondasi bangsanya. Ia memilih membangun manusia sebelum membangun kota. Di balik keputusan itu ada landasan moral yang kuat. Nilai-nilai Konfusianisme yang menekankan disiplin, rasa malu, kesetiaan, penghormatan pada ilmu, dan tanggung jawab sosial menjadi nafas kebijakan. Pendidikan dijadikan tiang negara. Hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Sistem meritokrasi dirancang agar jabatan diraih oleh mereka yang mampu, bukan oleh mereka yang dekat. Singapura tahun 1965 adalah pulau miskin di ujung selat. Warganya kebanyakan nelayan, buruh pelabuhan, dan pedagang kecil. Rumah-rumah petak berdiri rapat. Pengangguran tinggi. Ketegangan antaretnis mudah menyala. Para pengamat bahkan meragukan negara kecil ini bisa bertahan. Tetapi sejarah tidak menulis kisah berdasarkan ramalan. Ia menulisnya berdasarkan keberanian. Dua dekade kemudian, Singapura menjelma menjadi kota tertib dengan ekonomi yang tumbuh dan sekolah-sekolah yang dihormati. Bukan karena tanahnya kaya, tetapi karena manusianya ditata. Kisah itu sering dikagumi dari kejauhan, tetapi jarang direnungi sebagai perjalanan batin. Di balik deret angka dan gedung yang menjulang, ada kerja panjang untuk menenangkan jiwa sebuah bangsa. Menjadikan tertib bukan sekadar aturan, melainkan kebiasaan. Menjadikan bersih bukan sekadar slogan, melainkan martabat. Hari ini, Bali berada di persimpangan yang berbeda, namun maknanya serupa. Bali tidak sedang berjuang dari kehampaan, melainkan dari kelimpahan yang kehilangan kendali. Jalanan menjadi semakin macet. Sungai-sungai kehilangan kejernihan. Gunung dan laut tetap indah, tetapi pelan-pelan disesaki bangunan yang tumbuh tanpa arah. Lahan sawah berganti menjadi vila. Rumah penduduk terdesak oleh hotel. Di sisi lain, kesenjangan terasa melebar. Para petani yang dulu menjaga tanah berubah peran menjadi penonton di atas tanahnya sendiri. Anak muda tumbuh dalam gemuruh pariwisata. Banyak yang enggan kembali ke ladang, tetapi juga tidak menemukan pijakan yang kokoh di bidang lain. Bali tampak sibuk, tetapi lelah. Upacara adat tetap ramai, namun maknanya sering larut dalam tontonan. Doa masih terucap, tetapi kadang menjadi kebiasaan yang kehilangan kedalaman. Pembangunan berjalan di banyak sudut, tetapi arah spiritual kehidupan terasa kabur. Kita berbicara tentang kemajuan, tetapi jarang bertanya dengan jernih, maju ke mana. Padahal Bali memiliki yang tidak dimiliki Singapura di titik berangkatnya. Bali mewarisi kebijaksanaan tua yang menjadi suluh kehidupan. Ada Tat Twam Asi yang mengingatkan kesatuan dan empati, bahwa melukai orang lain sama dengan melukai diri sendiri. Ada Tri Hita Karana yang menuntun harmoni dengan Tuhan, sesama, dan alam. Ada Tri Kaya Parisudha yang menata pikiran, ucapan, dan perbuatan agar tetap bersih. Ada Ngayah yang menanamkan pengabdian tulus sebagai cara hidup bersama. Nilai-nilai ini bukan hiasan upacara. Nilai-nilai ini sesungguhnya adalah rancangan peradaban. Jika Singapura bangkit dengan napas Konfusianisme yang menekankan keteraturan, penghormatan pada ilmu, dan tanggung jawab sosial, maka Bali memiliki fondasi spiritual yang menekankan keseimbangan, kesadaran, dan kesucian hidup. Persoalannya bukan pada kurangnya nilai, melainkan pada jarak antara nilai dan laku. Kita rajin berbicara tentang harmoni, tetapi masih menutup mata pada sampah di sungai. Kita bangga pada budaya, tetapi membiarkan generasi muda kehilangan rasa malu dan tanggung jawab sosial. Kita menyebut alam sebagai ibu, tetapi kerap memperlakukannya sebagai halaman belakang yang boleh dipakai sesuka hati. Pelajaran dari Singapura bukan agar Bali menjadi Singapura. Pelajarannya sederhana sekaligus berat. Bangun manusia lebih dulu. Jadikan pendidikan karakter sebagai jantung sekolah. Tegakkan aturan kecil dengan konsisten agar tertib menjadi kebiasaan. Pilih pejabat yang berani jujur dan siap tidak populer. Hargai waktu dan ruang publik sebagai cermin martabat. Dan yang lebih mendasar, hidupkan kembali nilai-nilai sendiri dalam kebijakan nyata. Biarkan Tat Twam Asi hadir di jalan raya, kantor, pasar, dan sekolah. Biarkan Tri Hita Karana menjadi pedoman tata ruang yang menjaga sawah, hutan, sungai, dan mata air. Biarkan Ngayah menjadi roh pelayanan publik. Bali tidak perlu menjadi Singapura. Bali hanya perlu menjadi dirinya yang sejati. Untuk sampai ke sana diperlukan keberanian yang sama seperti yang pernah dimiliki Lee Kuan Yew. Keberanian untuk jujur memandang luka. Keberanian untuk memperbaiki arah sebelum semuanya terlambat. Keberanian untuk menolak kemewahan yang mengikis keheningan, dan memilih keteraturan batin yang melahirkan ketertiban lahir. Singapura membangun dari kekosongan. Bali bisa membangun dari kelimpahan. Kelimpahan itu akan berarti bila dikelola dengan jiwa yang ingat pada akar. Sejarah selalu memberi dua pilihan: bertahan dalam keluhan, atau bangkit dengan kesadaran. Bali tidak sedang hancur. Bali sedang diuji. Diuji apakah masih punya tenaga untuk mengingat, dan kerendahan hati untuk kembali ke nilai-nilai yang menjadikannya mulia. Kata-kata tentang bangsa kecil yang bisa menjadi besar bila memiliki moral yang besar pernah diucapkan Lee Kuan Yew. Kalimat itu patut disimpan di banyak ruang rapat dan ruang kelas di pulau ini. Sebab yang membuat sebuah negeri tumbuh bukan luas wilayah atau kekayaan alam, melainkan kejernihan pikiran dan kesungguhan hati warganya. Bali tidak butuh mukjizat. Bali hanya butuh ingatan. Ingatan bahwa keseimbangan adalah kekuatan. Ingatan bahwa harmoni lebih kokoh daripada kuasa. Ingatan bahwa leluhur pernah menitipkan kehidupan yang harus dijaga dengan kebijaksanaan, bukan dengan keserakahan. Bali akan baik-baik saja bila mau pulang pada dirinya. Sebab setiap bangsa yang berani belajar dari luka dan setia pada akar kebijaksanaan, selalu menemukan jalan kembali menuju terang. (*) Menot Sukadana
Baca juga :
• Tentang Soto, Kejujuran, dan Cara Hidup Mengajar
• Kantong Plastik dan Dosa yang Ringan
• Sampah di Kepala Kita