Search

Home / Kolom / Jeda

Sampah di Kepala Kita

Nyoman Sukadana   |    18 Oktober 2025    |   22:11:00 WITA

Sampah di Kepala Kita
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

SETIAP pagi, jalan di depan lingkungan perumahan selalu tampak bersih setelah disapu petugas kebersihan. Namun menjelang siang, plastik, bungkus makanan, dan puntung rokok kembali bertebaran. Seolah kerja keras orang lain tidak pernah diingat, tidak pernah dihargai. Kita terbiasa melihat sampah tanpa merasa bersalah, seakan sampah itu bukan milik siapa pun.

Barangkali yang paling mengkhawatirkan bukanlah sampah di jalanan, melainkan yang menumpuk di kepala kita. Pikiran yang penuh amarah, kebiasaan menyalahkan, keengganan mendengar, dan sikap masa bodoh terhadap persoalan bersama. Di situlah bentuk paling berbahaya dari sampah yang tak terlihat, tetapi membuat kita berhenti berpikir jernih.

Kita hidup di masa ketika kesadaran sosial sering diukur dari unggahan media sosial ketimbang dari tindakan nyata. Kita bisa menulis seribu kata tentang pentingnya menjaga lingkungan, tetapi tetap membuang puntung rokok dari jendela mobil. Kita bisa ikut kampanye kebersihan, tetapi di rumah sendiri masih enggan memilah sampah. Mungkin bukan karena kita jahat, tetapi karena kita kehilangan rasa malu terhadap hal-hal kecil.

Membuang sampah bukan sekadar urusan kebersihan, melainkan cermin cara kita memandang hidup. Jika kita masih menganggap lingkungan bisa menampung segalanya, termasuk kelalaian dan egoisme kita, maka sesungguhnya kita sedang mengotori ruang batin sendiri. Alam tidak pernah marah. Ia hanya diam, menunggu kita sadar sambil perlahan menagih akibat dari ketidakteraturan yang kita buat.

Ada masa ketika orang tua kita mengajarkan disiplin dengan cara sederhana. Tidak boleh membuang daun pisang sembarangan, tidak boleh meninggalkan sisa upakara di jalan. Semua dilakukan dengan kesadaran, bukan karena takut aturan. Kini aturan sudah ada di mana-mana, tetapi kesadaran semakin menipis. Kita punya perda, program, dan perarem adat tentang pengelolaan sampah. Namun tanpa rasa malu dan tanggung jawab pribadi, semua itu hanya akan menjadi tulisan di papan pengumuman.

Barangkali yang perlu kita lakukan bukan hanya menambah bak sampah atau memperbanyak spanduk ajakan, tetapi menata ulang cara kita memandang kebersihan. Sampah tidak pernah salah. Ia hanya produk dari pilihan hidup kita sehari-hari. Plastik sekali pakai muncul karena kita memilih yang praktis. Pembakaran sampah terjadi karena kita enggan mencari cara yang lebih rumit. Semua kembali pada satu hal, kita lebih suka kenyamanan sesaat daripada ketertiban yang berkelanjutan.

Suatu hari, saya melihat seorang nenek di pasar memungut botol plastik dan menatanya dengan rapi di karung kecil. Ia tidak bicara apa-apa. Tidak ada yang memotret atau memberi tepuk tangan. Dari punggungnya yang bungkuk, saya melihat sesuatu yang hilang dari banyak orang: kesadaran diam yang tulus. Ia tidak sedang menjaga lingkungan untuk mendapat pujian, tetapi karena merasa itu hal yang seharusnya dilakukan manusia.

Mungkin di situlah letak kebenaran yang kita lupakan. Bahwa membersihkan lingkungan bukan hanya tindakan fisik, tetapi juga latihan batin untuk menyingkirkan kesemrawutan dalam diri. Kita tidak bisa menata kota jika pikiran kita sendiri berantakan. Tidak bisa berharap lingkungan bersih kalau kata-kata kita kotor dan hati kita dipenuhi keluh kesah.

Setiap kali kita membuang sesuatu, baik sampah atau amarah, tanyakan dulu pada diri sendiri: apakah yang kita buang benar-benar sudah tidak berguna, atau justru bagian dari tanggung jawab yang belum kita selesaikan. Karena pada akhirnya, sampah tidak pernah pergi jauh. Ia hanya berpindah tempat, dari tangan kita ke tanah, dari tanah ke udara, dari udara ke paru-paru, dan entah kapan, mungkin kembali ke kesadaran kita yang paling sunyi.

Dan sebelum semuanya terlambat, barangkali saatnya kita mulai dari hal paling sederhana: membersihkan kepala kita sendiri dari sampah-sampah yang membuat kita kehilangan malu dan kepedulian. Sebab hanya dengan kepala yang jernih, tangan kita bisa mulai bekerja dengan benar. (*)

Menot Sukadana

Baca juga :
  • Tentang Soto, Kejujuran, dan Cara Hidup Mengajar
  • Kantong Plastik dan Dosa yang Ringan
  • Tanah dan Wasiat