Search

Home / Kolom / Jeda

Tentang Soto, Kejujuran, dan Cara Hidup Mengajar

Nyoman Sukadana   |    24 Oktober 2025    |   10:08:00 WITA

Tentang Soto, Kejujuran, dan Cara Hidup Mengajar
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

TENGAH malam di Pasar Kreneng, warung soto itu masih hidup. Uap kuahnya menari di udara, bercampur aroma bawang goreng dan suara piring beradu. Saya dan MS, seorang teman wartawan yang selalu bicara blak-blakan, duduk di pojok menunggu mangkuk soto yang katanya legendaris di jam segini. Lampu neon redup, tapi percakapan kami malah terang.
“Bli, hidup Bli itu sebetulnya sudah enak,” katanya tiba-tiba, tanpa aba-aba. “Cuma Bli saja yang bikin semuanya jadi ruwet.”
Saya terdiam. Bukan karena marah, tapi karena kalimatnya menggantung di udara seperti uap soto yang belum mau hilang.

MS lalu bercerita panjang. Tentang kesulitannya, tentang hidup yang tak selalu adil, tentang usaha kecilnya yang baru tumbuh tapi masih terseok. Namun di antara semua itu, ia sempat menatap saya dengan ekspresi setengah bercanda, setengah serius.
“Saya tahu kondisi ekonomi Bli,” katanya pelan. “Tiap tahun uang Bli hilang puluhan juta, tapi Bli santai, seperti tidak ada apa-apa. Saya salut, tapi juga heran. Hidup itu bukan cuma dibiarkan mengalir, Bli. Kadang mesti diatur supaya tidak hanyut.”
Saya tak langsung menjawab. Mungkin karena bagian dari diri saya memang tahu, kalimat itu benar adanya.

Percakapan itu mengingatkan saya pada seseorang lain, Kadek Putra, teman lama yang pernah mengatakan hal serupa.
“Bro itu hidupnya sudah enak,” katanya waktu itu sambil menepuk bahu saya. “Modal ada, jaringan luas, ide banyak. Tapi Bro tidak pernah memanfaatkannya. Bro itu orangnya tidak enakan.”
Waktu itu saya hanya tertawa kecil. Tapi malam di warung soto itu membuat tawa lama saya terdengar getir. Dua orang, dua waktu, dua tempat berbeda, tapi pesannya sama: mungkin saya terlalu sering berpikir secara ragu sebelum melangkah.

Saya pernah jatuh. Bukan hanya di jalan hidup, tapi juga secara ekonomi. Pernah kehilangan banyak hal, termasuk sebagian aset. Rasanya pahit, tetapi di sela-sela itu saya justru menemukan rasa tenang yang baru. Saya belajar bahwa kehilangan bukan akhir, melainkan cara hidup menepuk bahu kita sambil berkata, “Sudah, cukup sampai di sini.”
Kakak saya pernah menyindir lembut, “Sudah bisa beli rumah lagi satu kamu di Dalung.” Kalimat itu saya tangkap bukan sebagai pujian, tetapi pengingat bahwa hidup, seberapapun terjalnya, tetap memberi ruang untuk bangkit asal kita tidak menyerah pada sesal.

Malam di warung soto itu akhirnya berakhir seperti biasa. Kuah di mangkuk kami tinggal separuh, tetapi percakapan kami penuh. Saya tidak membantah ucapan MS. Justru dalam caranya yang keras, ada kasih yang samar. Barangkali begitulah hidup mengajar, bukan lewat nasihat indah, melainkan lewat seseorang yang cukup berani berkata jujur.
Saya pulang malam itu dengan langkah pelan. Jalanan Denpasar sudah sepi, tetapi di kepala saya, kalimat-kalimat MS terus mengiang. Hidup memang tidak harus dikejar, tapi juga tidak boleh dibiarkan.

Kadang yang paling mengajari kita bukan yang paling lembut, tetapi yang paling jujur. Mereka yang tidak pandai memilih kata, tapi punya niat baik di balik nada yang keras. Mereka yang tanpa sadar menjadi cermin kecil di tengah lelahnya perjalanan kita.

Dan malam itu, di warung soto yang sederhana, di bawah lampu yang redup, saya belajar satu hal kecil. Hidup ternyata tidak selalu memberi pelajaran di ruang yang sunyi. Kadang ia datang bersama uap soto yang hangat, suara teman yang ceplas-ceplos, dan hati yang tiba-tiba mengerti. Hari itu, diam-diam, mengajari saya untuk kembali bersyukur. (*)

Menot Sukadana

Baca juga :
  • Kantong Plastik dan Dosa yang Ringan
  • Sampah di Kepala Kita
  • Tanah dan Wasiat