Nyoman Sukadana |
19 Oktober 2025 | 22:21:00 WITA
KITA sering menghindari kesalahan besar, tetapi begitu mudah memaafkan kesalahan kecil. Di warung, tangan kita masih menerima kantong plastik tambahan tanpa berpikir panjang. Di jalan, kita membuang tisu karena merasa itu hanya selembar. Di halaman rumah, api kecil dibiarkan menyala untuk membakar daun kering. Semua tampak ringan dan tidak berarti, seolah tidak berdampak apa-apa. Padahal dari hal-hal kecil seperti itulah dunia kehilangan keseimbangannya. Selembar plastik, secarik tisu, sehembus asap, semuanya menyusun lapisan dosa ringan yang perlahan menyesakkan bumi. Kita terlalu sering menunda tanggung jawab, menunggu orang lain bertindak lebih dulu. Akibatnya, bumi yang dulu menjadi rumah yang indah kini mulai sesak oleh ketidakpedulian kecil yang berulang. Aldo Leopold, seorang pemikir lingkungan, pernah menulis bahwa sesuatu dianggap benar bila ia membantu mempertahankan integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas kehidupan. Kalimat itu terdengar sederhana, tetapi sesungguhnya adalah ukuran moral yang sulit kita penuhi. Kita masih menilai sesuatu benar karena mudah, bukan karena bijak. Kita masih memilih kenyamanan pribadi dibanding keseimbangan alam. Kesadaran ekologis tidak tumbuh dari kampanye besar atau undang-undang, tetapi dari kebiasaan kecil yang dijaga dengan sabar. Ia lahir dari rasa malu yang lembut ketika tangan ini menolak plastik tambahan di kasir. Ia tumbuh saat hati menegur diri sendiri karena membuang sisa makanan sembarangan. Ia bertahan dalam keheningan, bukan di panggung seruan. Bumi tidak meminta banyak. Ia hanya butuh sedikit kesadaran untuk tidak memperlakukannya seperti benda mati. Ia memberi kita pohon untuk berteduh, air untuk hidup, udara untuk bernapas. Namun kita membalasnya dengan cara yang kasar dan tergesa. Kita menutup telinga pada rintihnya, padahal setiap kali daun kering terbakar, udara yang kita hirup ikut terluka. Kita sering merasa perubahan hanya bisa dilakukan oleh pemerintah atau lembaga besar. Padahal, perubahan sejati lahir dari tindakan kecil yang dilakukan dengan tekun. Menolak satu kantong plastik mungkin tidak akan menyelamatkan dunia, tetapi ia menyelamatkan nurani. Sebab, di setiap penolakan kecil itu, ada kesadaran bahwa bumi ini tidak hanya milik manusia hari ini, tetapi juga milik anak-anak yang belum lahir. Moralitas lingkungan adalah soal kesetiaan pada kehidupan yang lebih luas dari diri sendiri. Ia mengajarkan kita bahwa etika tidak berhenti di antara manusia, melainkan juga pada tanah, air, udara, dan semua makhluk yang berbagi ruang bersama kita. Ketika kita menjaga hal-hal kecil, kita sedang menjaga keteraturan yang lebih besar. Barangkali inilah dosa paling ringan yang paling sering kita lakukan: merasa tidak apa-apa. Tidak apa-apa menerima plastik tambahan, tidak apa-apa membakar sampah kering, tidak apa-apa membuang tisu di jalan. Semua tidak apa-apa itu akhirnya membentuk kebiasaan yang sulit dihapus. Ketika dosa ringan menjadi budaya, keindahan alam pun kehilangan daya suci. Suatu saat nanti, anak-anak kita mungkin akan bertanya mengapa langit kian panas, laut kian kotor, dan tanah tak lagi ramah. Kita mungkin tak sanggup menjawab selain dengan kalimat lirih, bahwa semua berawal dari rasa tidak apa-apa yang kita pelihara terlalu lama. Seperti kata Leopold, sesuatu dianggap benar bila ia menambah keindahan komunitas kehidupan. Maka, mungkin inilah saatnya kita mulai dari hal paling sederhana: menolak satu kantong plastik, memungut satu sampah kecil, dan menyalakan satu kesadaran yang jujur. Dunia tidak butuh pahlawan besar, cukup manusia yang mau berbuat kecil dengan hati yang bersih. (*) Menot Sukadana
Baca juga :
• Tentang Soto, Kejujuran, dan Cara Hidup Mengajar
• Sampah di Kepala Kita
• Tanah dan Wasiat