Search

Home / Kolom / Editorial

Harga Naik, Kebijakan Lambat

Nyoman Sukadana   |    03 Oktober 2025    |   10:09:00 WITA

Harga Naik, Kebijakan Lambat
Editorial. (podiumnews)

KENAIKAN harga pangan bukan kabar baru di negeri ini, tetapi tetap saja menyengat setiap kali datang. Kali ini, lonjakan harga cabai, daging ayam, dan telur kembali menguji kecepatan respons pemerintah. Sementara di pasar tradisional rakyat mengeluh, pemerintah terlihat masih sibuk dengan kalkulasi dan koordinasi.

Pelemahan nilai rupiah menambah beban psikologis. Efeknya berantai: impor bahan baku naik, biaya logistik melonjak, dan ongkos produksi membengkak. Di lapangan, petani tidak serta-merta diuntungkan karena rantai distribusi panjang dan biaya pupuk mahal. Di ujung lain, masyarakat kecil yang pendapatannya tidak bergerak menanggung kenaikan harga tanpa pilihan.

Pakar ekonomi Wisnu Setiadi Nugroho mengingatkan bahwa persoalan ini bukan semata akibat faktor global atau cuaca. Ini kombinasi klasik antara lemahnya pasokan dan melonjaknya permintaan. Kasus di Bandung menjadi contoh konkret: stok menipis karena distribusi terganggu, sementara program Makan Bergizi Gratis (MBG) pemerintah justru meningkatkan permintaan secara mendadak. Program sosial yang seharusnya meringankan masyarakat malah memberi tekanan tambahan pada rantai pasok yang belum siap.

Fenomena seperti ini menegaskan satu hal: kebijakan pangan kita masih reaktif, bukan antisipatif. Pemerintah baru bergerak setelah harga naik, bukan sebelum gejolak terjadi. Operasi pasar, penggunaan stok Bulog, hingga pemantauan harga dilakukan dalam pola tanggap darurat, bukan dalam kerangka strategi jangka panjang. Akibatnya, siklus krisis harga pangan terus berulang setiap tahun.

Padahal, seperti diingatkan para ekonom, efek rambatan jauh lebih berbahaya. Kenaikan harga bahan pangan pokok dapat memicu kenaikan biaya transportasi, logistik, dan industri kecil. UMKM yang bergantung pada telur, ayam, dan minyak goreng akan memutar biaya tambahan ke harga jual. Akibatnya, daya beli masyarakat tertekan dan inflasi menjadi kenyataan yang terasa di meja makan rakyat.

Di sisi lain, transparansi harga dan pengawasan pasar masih lemah. Tidak jarang, kenaikan harga dimanfaatkan oleh segelintir pedagang besar untuk menimbun atau menahan pasokan. Pemerintah tampak enggan menindak tegas pelaku-pelaku spekulatif, seolah takut pada bayang-bayang politik menjelang tahun-tahun pemilu daerah. Padahal, ketegasan di lapangan justru menjadi ujian nyata keberpihakan pada rakyat.

Kenaikan harga pangan mestinya menjadi momentum memperbaiki sistem logistik nasional dan memperkuat produksi lokal. Bulog perlu direformasi agar lebih modern dan berbasis data. Distribusi antarwilayah mesti dibuat efisien agar harga di pasar tidak ditentukan oleh panjangnya rantai tengkulak. Program pangan publik seperti MBG harus memiliki sistem distribusi yang terkoneksi langsung dengan produsen lokal, bukan sekadar membeli dalam jumlah besar di pasar yang sama dengan konsumen umum.

Kebijakan pangan tidak bisa terus dijalankan dengan pola pemadam kebakaran. Negara mesti hadir sebelum api membesar. Saat rakyat menunggu turunnya harga, mereka juga menunggu tanda bahwa pemerintah belajar dari krisis sebelumnya.

Kenaikan harga memang tidak bisa dihindari sepenuhnya. Tetapi krisis kepercayaan terhadap kemampuan negara menjaga stabilitas ekonomi bisa dihindari, asal ada keberanian mengambil langkah jangka panjang, bukan sekadar menambal situasi jangka pendek.

Lonjakan harga pangan kali ini seharusnya menjadi peringatan keras: tanpa pembenahan mendasar pada sistem pangan nasional, negara akan terus terjebak dalam siklus panik tahunan yang sama. Rakyat berhak atas kebijakan yang cepat, tetapi juga cerdas. Karena harga pangan bukan sekadar angka di grafik inflasi, melainkan ukuran paling jujur dari keadilan sosial di meja makan rakyat. (*)

Baca juga :
  • Ruang Aman yang Masih Belum Inklusif
  • Setelah Tembok Dirobohkan
  • Bali Melawan Rabies