ANGKA kekerasan berbasis gender di Indonesia kembali menegaskan kenyataan yang sulit dibantah: sistem perlindungan kita belum benar-benar bekerja untuk kelompok rentan. Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024 mencatat lebih dari 330 ribu kasus kekerasan, dan hampir seluruhnya terjadi di ranah domestik. Dari jumlah itu, perempuan dengan disabilitas muncul sebagai kelompok paling rentan, dengan risiko dua hingga lima kali lebih tinggi menjadi korban kekerasan. Data ini bukan sekadar statistik, melainkan cermin kegagalan kita dalam menciptakan ruang aman bagi mereka yang paling membutuhkan perlindungan. Seperti diingatkan akademisi Universitas Gadjah Mada, Dr Ratna Noviani, masih banyak kebijakan yang berhenti pada tataran retorika. Regulasi telah disusun, tetapi implementasi di lapangan sering tak menyentuh kebutuhan nyata. Banyak fasilitas yang mengatasnamakan inklusi, namun belum benar-benar ramah bagi penyandang disabilitas. Kelemahan struktural ini diperparah oleh budaya patriarki dan pandangan diskriminatif yang masih kuat di masyarakat. Perempuan disabilitas kerap dipandang lemah, tidak mandiri, atau bahkan tidak memiliki suara. Akibatnya, mereka sering menjadi korban berlapis: kekerasan fisik, psikologis, dan sosial yang tak diakui secara memadai oleh lingkungan maupun aparat. Keadilan bagi perempuan disabilitas seharusnya tidak diukur dari jumlah aturan, tetapi dari sejauh mana mereka dapat hidup dengan aman dan bermartabat. Ruang aman bukan sekadar fasilitas fisik, melainkan hasil dari kesadaran sosial yang menghargai perbedaan dan menolak segala bentuk diskriminasi. Perubahan itu perlu dimulai dari ruang-ruang pendidikan. Sekolah dan kampus harus menjadi tempat pertama di mana nilai inklusif dipraktikkan, bukan hanya diajarkan. Langkah Universitas Gadjah Mada melalui Unit Layanan Disabilitas dan UKM Peduli Difabel menjadi contoh bahwa kesadaran bisa tumbuh dari praktik sederhana yang konsisten. Selain pendidikan, media juga memiliki tanggung jawab moral untuk menampilkan representasi yang adil dan empatik. Media digital dapat memperlihatkan kapasitas dan suara perempuan disabilitas, bukan semata menyoroti keterbatasannya. Dengan cara itu, media tidak hanya mengabarkan, tetapi turut menumbuhkan kesadaran publik akan pentingnya empati dan kesetaraan. Kekerasan berbasis gender tidak akan pernah berakhir jika masyarakat terus menormalkan ketimpangan. Sudah saatnya kita berhenti menunggu kebijakan bekerja sendiri dan mulai menumbuhkan kesadaran bahwa perlindungan bagi yang rentan adalah tanggung jawab bersama. Ruang aman harus lahir dari sikap sosial yang adil, bukan sekadar dari kata-kata di atas kertas. (*)
Baca juga :
• Harga Naik, Kebijakan Lambat
• Setelah Tembok Dirobohkan
• Bali Melawan Rabies