Nyoman Sukadana |
12 Oktober 2025 | 02:35:00 WITA
RUMAH makan Padang di Jalan Gatot Subroto Tengah itu sudah jadi tempat kami sering bertemu. Di sela rutinitas kerja, tempat itu seperti ruang diskusi kecil di luar redaksi. Malam itu, saya kembali duduk berhadapan dengan Wahyu, punggawa IT dan media sosial PodiumNews. Kami tidak sedang membicarakan menu atau sekadar melepas lelah, melainkan rencana besar yang sudah beberapa bulan ini saya pikirkan: membenahi total website PodiumNews dan UrbanBali. Bagi saya, perombakan ini bukan urusan teknis belaka. Ini bagian dari kerja jangka panjang yang saya sebut Podium Ecosystem, rancangan yang sedang saya bentuk untuk menjawab tantangan media lokal di tengah disrupsi digital yang tak kenal henti. Saya katakan kepada Wahyu, di balik semua rencana itu ada kegelisahan yang terus tumbuh. Dunia media kini bergerak terlalu cepat. Sumber informasi tak lagi dikuasai redaksi berita, melainkan dibanjiri oleh influencer, podcaster, dan kreator konten. Sementara kami, para pengelola media online lokal, masih menggantungkan hidup pada kerja sama dengan pemerintah daerah. Itu rezeki yang patut disyukuri, tapi juga ketergantungan yang berisiko. Saya sering berpikir, jika satu hari sumber itu berhenti, sebagian besar media lokal bisa runtuh. Seperti kebanyakan usaha kecil, kami terhambat oleh modal, tenaga, dan inovasi. Untuk sekadar bertahan, mungkin masih sanggup dua atau tiga tahun ke depan. Tapi setelah itu, tidak ada jaminan. Saya sampaikan kepada Wahyu, kondisi media lokal di Bali masih jauh dari ideal. Banyak yang tidak memiliki kantor tetap. Ada yang bekerja dari rumah, bahkan ada yang hanya mencantumkan alamat pinjaman. Sebagian dikelola oleh satu orang saja yang merangkap semua posisi. Jika pun ada karyawan, jumlahnya bisa dihitung dengan jari dan honor mereka belum layak. Situasi itu sering menjadi bahan candaan di antara kami para pengelola media. Saat berkumpul, kami menyebut diri “para CEO media lokal.” Tawa selalu pecah, tapi saya tahu getirnya di balik kalimat itu. Pernah ada seorang teman yang nyeletuk, “Dagang sate saja punya rombong, ini pengusaha media malah enggak jelas di mana kantornya.” Ucapan itu melekat di kepala saya. Ada benarnya. Ia seperti cermin yang memaksa saya melihat kenyataan tanpa pembenaran. Dari situ, saya memutuskan untuk membuat kantor kecil seadanya. Tidak besar, tapi cukup untuk menandai keberadaan. Saya ingin tetap menghargai profesi ini dengan bekerja di tempat yang nyata. Saya lalu menjelaskan kepada Wahyu arah besar yang sedang disiapkan. Tahun 2025–2026 menjadi tahap awal: memperbarui tampilan PodiumNews dan Podium Kreatif, sekaligus mengembangkan UrbanBali sebagai media gaya hidup. Tahun 2026 saya berencana memperkuat kualitas pemberitaan dan menambah satu website baru untuk memperluas jangkauan ekosistem. Tahun 2027, kantor kecil yang ada sekarang ingin saya renovasi menjadi bangunan dua lantai yang lebih representatif. “Lebih baik pusing punya rencana daripada tidak punya rencana sama sekali, Bli,” kata Wahyu sambil tertawa kecil. Saya memang sedang menyiapkan model usaha hybrid, menggabungkan kerja online dengan ruang fisik. Saya ceritakan padanya tentang rencana Kedai Kopi Redaksi dan ruang komunitas untuk diskusi dan kegiatan kecil. Gagasannya menarik, tapi butuh biaya besar. Percakapan malam itu berakhir tanpa kesimpulan, tapi meninggalkan keyakinan kecil dalam diri saya: bahwa usaha media lokal tidak harus besar untuk berarti. Cukup jujur, gigih, dan berjalan terus tanpa kehilangan arah. Karena di dunia yang berubah secepat ini, bertahan pun sudah sebuah bentuk perlawanan yang terhormat. (*) Menot Sukadana
Saya ikut tersenyum. “Masih di kepala semua. Tapi pelan-pelan saya jalanin. Tidak ada salahnya mencoba.”
“Bagaimana kalau ada investor, Bli?” tanya Wahyu.
“Saya belum tahu juga. Kita lihat nanti,” jawab saya.
Baca juga :
• Tentang Soto, Kejujuran, dan Cara Hidup Mengajar
• Kantong Plastik dan Dosa yang Ringan
• Sampah di Kepala Kita