Search

Home / Kolom / Jeda

Kita Tersambung, Kita Sendiri

Nyoman Sukadana   |    13 Oktober 2025    |   21:43:00 WITA

Kita Tersambung, Kita Sendiri
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

ZAMAN ini punya keajaiban yang aneh: kita bisa menyapa siapa pun di seluruh dunia, tapi sulit benar menatap mata orang di depan kita. Semakin banyak koneksi yang tercipta, semakin sedikit ruang untuk benar-benar hadir.

Notifikasi berbaris di layar, siap menuntut perhatian. Dunia terasa begitu ramai bahkan sebelum kita benar-benar membuka mata. Seakan kehidupan digital menjadi tolok ukur utama bahwa kita masih hidup dan relevan.

Inilah ironi terbesar yang kita hadapi di abad ini, yang terangkum dalam judul ini: Kita Tersambung, Kita Sendiri.

Kita mampu menyambungkan jutaan perangkat, melintasi benua dalam hitungan detik, tetapi kita gagal menyambungkan hati. Kita terhubung secara teknis dengan siapa pun, kapan pun, tapi jarang sekali kita benar-benar hadir untuk siapa pun.

Lihatlah sekelilingmu. Di warung kopi mana pun, orang-orang datang bersama, tetapi tenggelam dalam layar masing-masing. Mereka tertawa, tapi bukan pada teman di depannya, melainkan pada meme atau postingan di ujung lain yang entah di mana. Di situlah kesepian modern bersembunyi, di antara tawa yang tidak saling menatap.

Teknologi memang hebat. Ia menghapus jarak, ia mendekatkan kita. Tapi dalam kedekatan yang serba mudah itu, kita kehilangan sesuatu yang esensial: fokus. Kita bisa mengirim seribu pesan dalam sehari, tapi tak mampu menatap mata seseorang selama lima detik tanpa rasa canggung. Kita bisa menyapa seluruh dunia, tapi sulit menenangkan diri sendiri. Dunia maya telah menjadi rumah besar yang terang, tapi sayangnya, ia tidak punya ruang tamu, hanya koridor scrolling yang tiada akhir.

Seorang kawan pernah bercerita tentang lelah bekerja di balik layar. “Aku dikelilingi orang setiap hari,” katanya, “tapi rasanya seperti berjalan sendirian di tengah pasar yang bising.” Kalimat itu benar. Ramai di luar, sepi di dalam.

Inilah harga yang harus kita bayar dari kemajuan. Kita begitu takut tertinggal (Fear of Missing Out), sampai-sampai lupa beristirahat. Kita ingin selalu terhubung, padahal yang kita butuhkan hanya jeda untuk diam. Kita lebih nyaman mengirim emoji hati daripada benar-benar mendengarkan cerita sahabat yang patah hati. Di tengah keterhubungan yang luar biasa, kita justru kehilangan empati.

Kesepian hari ini bukan karena tak ada orang, melainkan karena terlalu banyak hal yang mengalihkan perhatian kita. Hening telah jadi barang langka. Padahal dalam hening, kita bisa mengenali diri dan menyadari apa yang benar-benar penting.

Dunia akan terus bergerak cepat, tapi kita harus menjaga ruang-ruang kecil tempat kemanusiaan kita masih bernafas. Ruang di mana kita bisa menatap, mendengar, dan benar-benar hadir. Ruang di mana kopi diseruput perlahan, bukan sekadar latar foto.

Filsuf Henry David Thoreau, jauh sebelum gadget diciptakan, sudah mengingatkan: “Our life is frittered away by detail. Simplify, simplify.” (Hidup kita terbuang sia-sia oleh hal-hal kecil. Sederhanakan, sederhanakan.)

Kita memang hidup di zaman yang menuntut untuk selalu hadir di banyak tempat sekaligus. Namun barangkali, kehadiran sejati justru lahir dari kemampuan untuk berhenti sejenak. Untuk menatap seseorang tanpa distraksi, untuk mendengar tanpa niat membalas, dan untuk merasakan tanpa tergesa membagikan.

Mungkin inilah tantangan terbesar manusia modern: menemukan kembali kesunyian yang manusiawi di tengah dunia yang terlalu ramai. Sebab setelah semua tersambung, yang paling kita rindukan bukan sinyal atau jaringan, melainkan perasaan sederhana bahwa ada yang benar-benar mendengar, tanpa layar, tanpa jarak, tanpa syarat. (*)

Menot Sukadana

Baca juga :
  • Tentang Soto, Kejujuran, dan Cara Hidup Mengajar
  • Kantong Plastik dan Dosa yang Ringan
  • Sampah di Kepala Kita