Nyoman Sukadana |
14 Oktober 2025 | 16:49:00 WITA
UDARA kampung malam itu lembap dan tenang. Suara jangkrik bersahutan dari pematang. Di bawah cahaya lampu sepeda motor, saya menyadari betapa perjalanan pulang kali ini bukan sekadar urusan pajak tanah. Malam itu, malam Senin, saya memutuskan untuk pulang kampung. Tujuannya sepele, tapi maknanya dalam: menjemput selembar kertas bernama SPPT PBB untuk lahan sawah. Lahan itu warisan orangtua, dan bagi saya, lebih menyerupai buku harian keluarga daripada sebidang tanah. Di setiap pematangnya, tersimpan kisah kerja keras, keikhlasan, dan jejak tangan-tangan yang pernah menanam harapan. Sawah itu dulunya milik leluhur, dibeli Ayah pada tahun 1982 dari saudara Kakek yang sudah transmigrasi ke Lampung. Saya masih menyimpan akta jual belinya, mencatat harga Rp8 juta. Jumlah itu besar untuk masa itu, dan menjadi awal perjalanan panjang tanah yang memberi penghidupan bagi keluarga selama lebih dari empat puluh tahun. Namun, seperti halnya hidup, tanah juga menyimpan kisah kehilangan. Sebagian kecil pernah dijual kepada kerabat untuk tempat tinggal. Di awal tahun 1990-an, sekitar 10 are terkena pembebasan lahan untuk proyek jalan raya. Tak ada ganti rugi. Ayah hanya berkata singkat, “Kalau untuk kepentingan umum, ya sudah.” Sejak itu saya belajar, tanah tidak selalu tentang hak milik, tapi juga tentang keikhlasan memberi ruang bagi orang lain untuk berjalan. Sekitar tahun 2012, cerita itu terulang. Keluarga besar membutuhkan akses jalan ke lahan di sebelah timur. Jauh sebelumnya, sejak awal 2000-an, Ayah sudah menyiapkan sebidang kecil, sekitar 35 meter persegi, lengkap dengan sertifikatnya, untuk dijadikan jalan keluarga. Wasiatnya sederhana tapi membekas: “Tanah itu satu asalnya dari leluhur. Kalau keluarga nyame delodan meminta jalan, berikan saja.” Ketika para paman datang meminta izin, saya hanya menunaikan pesan itu. Ada proses tukar guling sebagai penyesuaian, tapi di hati saya tahu, yang sedang saya lakukan bukan transaksi, melainkan penerusan amanah. Sebuah cara kecil untuk menuntaskan janji Ayah yang dulu hanya sempat diucapkan, tapi tidak pernah hilang dari ingatan. Bibi dan Paman, sepupu dari Ayah yang pernah dibantu, bercerita tentang masa lalu. Mereka mengenang bagaimana Ayah, meski sering sakit, tetap berusaha membantu keluarga: menyekolahkan adik-adiknya, mencarikan pekerjaan, bahkan ikut membangun rumah. “Sulit sekarang mencari orang seperti ayahmu yang mau membantu keluarga dengan tulus,” kata Bibi saya. Kami memang keluarga besar, tiga generasi yang kini menyesaki rumah leluhur. Karena itu, tanah warisan menjadi ruang bernapas. Bahkan, di tahun 2010, ujung baratnya kami izinkan untuk jalan subak. Bagi kami, memberi jalan bagi air sama berharganya dengan memberi jalan bagi manusia, karena keduanya menghidupkan. Ayah meninggal dengan meninggalkan empat wasiat yang kami ingat betul. Tiga sudah saya tunaikan, satu masih saya pegang teguh sampai hari ini: meneruskan amanatnya sebagai anak tertua dalam keluarga besar. Wasiat itu tidak mudah, tapi setiap kali saya berdiri di tepi sawah peninggalannya, saya tahu tanggung jawab itu bukan beban, melainkan cara untuk menjaga makna warisan itu sendiri. Malam itu, saat melipat SPPT dan menyimpannya di saku, saya sadar: saya tidak sedang membawa bukti kepemilikan, tapi pesan kehidupan. Selembar kertas itu mengingatkan, bahwa tanah dan harta hanyalah titipan. Selain untuk diri sendiri, ia juga harus memberi manfaat bagi yang lain. Dan di setiap jengkal tanah yang kini menjadi jalan, di setiap aliran air yang melewati batasnya, saya tahu: keikhlasan Ayah tetap hidup. Ia menjelma menjadi wasiat yang tak tertulis tentang cinta, tanggung jawab, dan cara sederhana untuk tetap pulang. (*) Menot Sukadana
Baca juga :
• Tentang Soto, Kejujuran, dan Cara Hidup Mengajar
• Kantong Plastik dan Dosa yang Ringan
• Sampah di Kepala Kita