Nyoman Sukadana |
27 Oktober 2025 | 21:08:00 WITA
PAGI selalu datang dengan langkah tenang. Tidak terburu dan tidak pula menunda. Ia seperti guru yang sabar, menepuk bahu waktu dan mengingatkan bahwa masih ada ruang untuk mulai lagi. Namun kita sering tak menyadarinya. Kita bangun dengan kepala penuh daftar tugas, bukan dengan dada yang lapang. Kita mengukur hari dari seberapa cepat, bukan seberapa hadir. Di situlah, perlahan, rasa syukur sering kehilangan tempatnya. Dalam kebijaksanaan lama yang pernah dijelajahi Aristoteles, hidup yang baik tidak dibangun dari satu keputusan besar, melainkan dari kebiasaan yang diulang terus dengan kesadaran. Ia tidak bicara tentang kemenangan, tetapi tentang kesetiaan pada hal-hal kecil. Menyapa tetangga sebelum berangkat, menepati janji tanpa diminta, mendengarkan orang lain dengan sabar. Hal-hal yang tampak sederhana, namun bila dijalani terus, menumbuhkan kebajikan tanpa kita sadari. Setiap pagi memberi ruang bagi kebiasaan itu untuk tumbuh kembali. Ia tidak menuntut kita sempurna, hanya mengajak kita mengingat. Bahwa mungkin kemarin kita terburu, marah tanpa alasan, atau abai pada hal kecil yang mestinya kita jaga. Tapi hari ini, hidup memberi kesempatan lain. Bukan untuk menebus, melainkan untuk memperbaiki. Pagi adalah pelajaran tentang keberulangan, bahwa yang baik bisa dimulai kembali bahkan setelah semalam kita lelah dan lupa. Epictetus, seorang filsuf Stoa yang hidup dalam kesederhanaan, percaya bahwa kebahagiaan tidak ditentukan oleh apa yang terjadi pada manusia, tetapi oleh cara manusia menjawabnya. Dalam setiap pagi, kita diberi pilihan yang sama. Mengeluh karena hari terasa berat, atau berterima kasih karena masih bisa melangkah. Kedengarannya sepele, tetapi di situlah perbedaan antara hidup yang penuh tekanan dan hidup yang penuh penerimaan. Syukur tidak selalu datang dari keberhasilan. Kadang ia muncul di tengah kekurangan, saat kita sadar bahwa hidup tidak harus sempurna untuk layak dijalani. Dalam sunyi pagi, sering terdengar bisikan halus bahwa waktu masih memberi kesempatan. Kita hanya perlu cukup tenang untuk mendengarnya. Sebab yang paling sering hilang dari hidup modern bukanlah waktu, melainkan kesadaran akan keberadaannya. Kita terbiasa memuja hal besar, padahal hidup tumbuh di hal kecil. Setetes air yang jatuh ke tanah, udara yang menyentuh wajah, atau senyum yang tak sempat kita balas. Pagi menghadirkan semua itu tanpa pamrih. Ia tidak pernah menuntut ucapan terima kasih, tetapi selalu hadir dengan cara yang sama, lembut dan tulus. Mungkin karena hidup memang bukan tentang mengubah dunia, melainkan tentang bagaimana kita memperlakukan dunia setiap hari. Filsafat lama mengajarkan bahwa kebahagiaan bukan puncak, melainkan perjalanan. Aristoteles menyebutnya eudaimonia, keadaan ketika manusia hidup selaras dengan kebajikannya sendiri. Makna itu tidak harus dibaca dari buku tebal. Cukup dirasakan di pagi hari, saat kita menata hati sebelum menata langkah. Bila kita mampu menjalani hari dengan niat baik, menghargai waktu, dan berterima kasih tanpa alasan, barangkali kita sudah berada di jalan itu. Tidak ada jaminan hari akan berjalan mulus. Tapi mungkin bukan itu yang penting. Yang berarti adalah keberanian untuk memulai lagi setelah gagal, untuk tetap lembut setelah kecewa, untuk tetap bersyukur setelah kehilangan. Pagi bukan janji baru, melainkan kesempatan kedua yang datang tanpa suara. Ia hanya meminta satu hal, kesediaan kita untuk hadir. Mungkin begitulah hidup hendak mengajari kita. Bukan agar menjadi sempurna, tetapi agar tidak berhenti tumbuh. Sebab setiap pagi, cahaya selalu datang dari arah yang sama, namun yang melihatnya tidak pernah sama. Dan barangkali di situlah rahasia kebahagiaan berada, di kesadaran kecil bahwa hidup masih memberi kita waktu untuk menjadi lebih baik, sekali lagi. (*) Menot Sukadana
Baca juga :
• Tentang Soto, Kejujuran, dan Cara Hidup Mengajar
• Kantong Plastik dan Dosa yang Ringan
• Sampah di Kepala Kita