Membangun Rumah di Atas Kata
MENULIS berita sering kali terasa seperti berlari dalam kejaran waktu: terbit pagi ini, dilupakan sore nanti. Setelah lebih dari seperempat abad hidup di dunia jurnalisme, saya mulai sadar, suara hati ini tak lagi puas hanya dengan berita yang lekas usang. Saya ingin sesuatu yang bertahan, yang tidak sekadar dibaca, tetapi menjadi pondasi dari sebuah rumah yang lebih besar, rumah yang dibangun di atas kata.
Jurnalisme, pada hakikatnya, adalah laku kepercayaan. Ia bukan hanya tentang menyampaikan fakta, tetapi juga tentang menegakkan keyakinan bahwa kata-kata masih bisa dipercaya. Namun di tengah derasnya arus digital, di bawah bayang-bayang kecerdasan buatan dan algoritma yang menata perhatian, idealisme saja tidak cukup. Ia harus menjelma menjadi karya nyata, sebuah rumah makna yang hidup lebih lama dari penulisnya.
Sebelum menjadi jurnalis, saya tumbuh di dunia aktivisme mahasiswa pada awal 1998. Saat itu, saya dipercaya menjadi Ketua BPM Fakultas Hukum Universitas Udayana, lalu terpilih sebagai Wakil Ketua BEM Unud lewat Pemilu Raya Mahasiswa. Masa itu menanamkan keberanian bersuara dan tanggung jawab sosial. Saya juga sempat terlibat di berbagai LSM yang mendampingi kelompok termarginalkan, termasuk komunitas penderita HIV/AIDS.
Sesudahnya, jalan hidup membawa saya ke dunia jurnalisme. Dua puluh lima tahun saya habiskan di ruang redaksi media lokal di Bali, menapaki peran dari reporter, redaktur, hingga redaktur pelaksana. Dunia itu menempa kedisiplinan, ketelitian, dan rasa tanggung jawab profesi kepada khalayak.
Memasuki usia empat puluhan, saya memutuskan mendirikan PodiumNews.com, media online yang berangkat dari keyakinan bahwa berita lokal bisa tetap jernih dan berkarakter. Bersamaan dengan itu, saya ikut mendirikan beberapa organisasi media seperti Asosiasi Media Online (AMO) Bali, Beranda Netizen, dan Paiketan Wartawan Hindu (PANDU), ruang kolaborasi tempat jurnalisme bertemu dengan semangat kebersamaan.
Menjelang usia 45 tahun, setelah terlibat langsung dalam dinamika politik lokal dan kehidupan redaksi, saya kembali bertanya: apa yang ingin saya tinggalkan? Dari pertanyaan itulah lahir keinginan menulis buku tentang gagasan saya, dan Podium Ecosystem atau POST yang bukan sekadar bisnis, melainkan karya media yang memadukan seluruh perjalanan hidup saya.
POST adalah hasil penempaan panjang: idealisme yang tumbuh di kampus dan jalanan 98, kedisiplinan yang dibangun di ruang redaksi, serta strategi yang ditempa di ruang publik. Ia bukan hanya jaringan usaha, tetapi karya yang menjejak di dunia digital dan di tanah nyata.
Dua belas are lahan di Mengwi dan kantor redaksi di Dalung kini menjadi kanvasnya. Lahan itu bukan sekadar aset pribadi, melainkan simbol keyakinan bahwa kepercayaan dalam jurnalisme harus berdiri di atas kemandirian, bukan utang.
Kelak di sana akan berdiri Kedai Kopi Redaksi, ruang yang bukan hanya menjual kopi, tetapi menanam makna. Tempat di mana ide, kata, dan percakapan bisa tumbuh di tanah yang sama, tanah yang dibangun dengan kerja, bukan pinjaman.
Dari PodiumNews dan UrbanBali, saya belajar bahwa kejernihan dan konsistensi konten dapat membangun audiens tanpa menggadaikan keaslian. Dari Podium Kreatif dan Urban Era, saya belajar bahwa keahlian jurnalis dapat menjadi fondasi bagi bisnis yang strategis dan beretika. Semua itu adalah ladang; hasilnya bukan hanya uang, tetapi kepercayaan yang tumbuh perlahan seperti pohon yang berbuah di musimnya.
Saya tidak mengejar angka laba. Nilai sejatinya terletak pada kredibilitas yang diperjuangkan tanpa investor, tanpa pinjaman, tanpa kompromi. Setiap rupiah yang dihasilkan adalah buah dari pengalaman yang dijalani dengan disiplin dan keyakinan.
Kini saya sadar, POST bukan sekadar proyek media. Ia adalah cara saya mempertanggungjawabkan hidup di hadapan publik. Sebuah pernyataan sunyi bahwa perjalanan dari aktivis, jurnalis, hingga konsultan bukanlah lintasan karier, melainkan satu garis yang menuntun menuju makna.
Saya sedang menanam. Menanam kepercayaan, nilai, dan karya yang kelak menjadi rumah bagi banyak orang. Sebuah ekosistem di mana idealisme dan keberlanjutan bisa berdamai.
Suatu hari, ketika Kedai Kopi Redaksi berdiri di lahan itu, saya akan duduk di terasnya dengan secangkir kopi di tangan, menatap sawah yang hijau dan langit yang perlahan menua. Saat itu saya tahu, rumah yang sejati bukan tentang kemegahan, melainkan tentang kesetiaan pada kata, dan keyakinan yang tumbuh di dalamnya. (*)
Menot Sukadana