Malam yang Tak Takut Gelap
HUJAN reda, meninggalkan udara lembap dan aroma tanah yang getir. Di jalan kampung yang sepi, lampu jalan berkelip pelan, seolah menahan napas. Aku berjalan tanpa tujuan, hanya ingin mendengar langkah sendiri di antara sisa air yang menetes dari genting. Dunia terasa sederhana, sunyi, dan jujur.
Gelap bukan hal yang asing bagiku, tapi malam ini terasa lain. Ia tidak menakutkan, hanya penuh pertanyaan yang belum punya jawaban. Dalam diam itu, aku teringat pada Minke. Anak muda yang hidup di zaman penuh tekanan, tapi tetap memilih menulis. Ia tahu, diam terlalu lama sama saja membiarkan kebodohan tumbuh tanpa lawan.
Di balik sosok itu, aku selalu mendengar gema Pramoedya. Ia menulis dari ruang yang sempit, tapi pikirannya menembus batas zaman. Ia tahu betul bahwa kalimat bisa menjadi perlawanan paling manusiawi. Di antara dingin penjara dan keterasingan, ia menunjukkan bahwa keberanian tidak selalu bersuara keras. Kadang, ia lahir dari kesunyian yang setia pada keyakinan.
Aku berhenti di depan bangunan tua di ujung gang. Catnya mengelupas, jendelanya setengah patah. Waktu seperti berhenti di sana. Dindingnya menyimpan sunyi yang tak selesai, seolah menatap balik dan menanyakan sesuatu: apakah manusia bisa tetap berjalan ketika arah hilang dari peta?
Kierkegaard mungkin akan menyebutnya lompatan iman, keberanian untuk melangkah tanpa pijakan yang pasti. Tapi malam ini aku merasa keberanian itu lebih sederhana. Ia bukan soal keimanan besar atau jawaban filosofis, melainkan keputusan kecil untuk tidak berhenti. Seperti Minke, yang terus menulis di tengah gelap, percaya bahwa terang akan menemukan jalannya sendiri.
Langit makin hitam. Angin membawa aroma besi dari pagar karat dan tanah basah yang tenang. Di kejauhan, anjing menggonggong lalu senyap. Aku berhenti sejenak, mendengarkan malam yang bekerja dengan caranya sendiri. Mungkin Camus benar, bahwa hidup tidak selalu perlu dimaknai. Ia hanya perlu dijalani dengan setia, tanpa banyak alasan, tanpa banyak janji.
Sesampainya di rumah, aku membuat kopi. Uapnya naik perlahan, menyentuh wajah dengan kehangatan yang tenang. Aku menatap cairan hitam itu, dan entah mengapa teringat Rumi. Ia pernah berbicara tentang luka, tentang bagaimana cahaya justru masuk dari retakan. Mungkin gelap malam seperti ini juga begitu: ia melukai, tapi justru di sanalah pemahaman tumbuh.
Aku membuka buku lama di meja kerja. Sampulnya lusuh, Bumi Manusia. Nama Pramoedya tertera di sana seperti cahaya samar dari masa lalu. Ia menulis bukan untuk dikenang, melainkan untuk menyalakan keberanian di hati siapa pun yang membaca. Ia tahu, dalam setiap gelap selalu ada bara kecil yang menolak padam.
Malam semakin pekat. Di luar jendela, bayangan bangunan tua itu masih terlintas di benak. Aku menatap langit tanpa bintang dan mulai mengerti sesuatu: gelap tidak pernah menjadi musuh. Ia hanya sisi lain dari terang, tempat manusia belajar melihat dengan cara yang berbeda.
Malam yang tak takut gelap adalah malam yang telah berdamai dengan luka. Malam yang berhenti mengejar terang karena tahu matahari akan datang dengan caranya sendiri. Aku mematikan lampu dan duduk dalam gelap. Bara kecil di ujung rokok berkedip pelan, seperti bintang yang menolak padam.
Di situ aku mengerti: keberanian sejati bukan tentang mengusir gelap, tapi menjaga agar nyala sekecil apa pun tetap hidup sampai pagi tiba. (*)
Menot Sukadana