Mengumpulkan Modal dari Buku
RABU malam di penghujung Oktober, saya menerima pesan WhatsApp dari Angga Wijaya. Ia mengabarkan perkembangan penerbitan buku pertama saya, sekaligus memberi kabar tentang buku terbarunya, Kuda Putih di Bali. Dari obrolan singkat itu, saya mendapat ide sederhana: mengumpulkan modal usaha dari keuntungan menjual buku.
Keesokan paginya kami bertemu di warung langganan di Dalung, tempat para pengemudi ojek online biasa mangkal. Sebuah warung kecil berdinding triplek, dengan bangku panjang dan suasana yang akrab. Di sana, Angga menyerahkan buku barunya yang bersampul oranye. Kami duduk sambil menyeruput kopi, lalu berbincang tentang buku, sastrawan, dan nasib para seniman yang sering terlupakan.
Angga bercerita tentang seorang mantan wartawan yang dulunya sangat produktif menulis, namun di masa tuanya hidup dalam keadaan memprihatinkan karena sakit. Ia beruntung karena sesekali masih mendapat pekerjaan membuat majalah dari seorang tokoh yang peduli.
“Di Denmark, sastrawan dan seniman mendapat subsidi dari negara,” kata Angga. “Seharusnya begitu, agar mereka bisa fokus berkarya.”
Saya membenarkan. “Itu sebabnya mereka bisa maju,” ujar saya. “Kita sebenarnya pernah punya tradisi yang mirip, jauh sebelum republik berdiri. Pada masa kerajaan, para pujangga dan seniman dihormati, diberi tanah perdekian, dan dibiayai oleh kerajaan.”
Dari tangan-tangan mereka lahir karya besar yang membentuk peradaban. Begitu pula di Eropa, pada masa renaisans, ketika seniman dan filsuf dihargai bangsawan. Dari situ lahir pemikiran dan karya yang mengubah dunia.
Saya menambahkan, peradaban tinggi hanya bisa tumbuh jika masyarakat menghargai olah pikir dan karya budaya. Bali sendiri bisa tetap memiliki kebudayaan adiluhung karena tradisi intelektual dan budayanya masih hidup. “Mungkin kita sulit jadi bangsa maju,” kata saya, “karena belum bisa menghargai karya dan pemikiran para seniman dan sastrawan.”
Setelah lama berbincang, kami kembali ke topik awal, yaitu buku. Saya bercerita tentang rencana menerbitkan kumpulan esai dari Kolom Jeda di PodiumNews, dan menjualnya secara rutin untuk mengumpulkan modal usaha. “Kalau lima tahun berjalan konsisten,” kata saya, “setidaknya bisa terkumpul modal awal untuk merintis kedai kopi Redaksi.”
Saya tahu hasilnya mungkin kecil, tapi tetap berarti. Sedikit demi sedikit, selama masih menulis dan menjual buku, saya berharap cita-cita itu perlahan tumbuh. Kalau semua jalan tertutup, barulah saya akan menggunakan pilihan terakhir, yaitu menjual rumah yang saya tempati sekarang.
“Target saya tujuh tahun lagi, saat berumur 55 tahun,” ujar saya, “modal itu harus sudah cukup untuk hidup di kampung dan membangun usaha kecil. Itu masa persiapan pensiun yang sudah saya pikirkan matang-matang.”
Angga mendengarkan sambil menatap cangkir kopi yang mulai dingin. Kami berdua terdiam cukup lama. Barangkali sama-sama menyadari bahwa menulis bukan hanya soal berkarya, tetapi juga tentang cara bertahan, cara menanam harapan, dan cara menyiapkan jalan pulang yang tenang. (*)
Menot Sukadana