Ketika Wartawan Bicara tentang Pensiun
USAI liputan dari Bongkasa pada Minggu siang yang panas terik, saya bersama seorang teman wartawan, ES, memilih tempat untuk ngadem sebentar sambil mengetik berita hasil liputan tadi. Dalam perjalanan pulang, kami singgah di sebuah kedai kopi sederhana di pinggir jalan yang cukup ramai. Di depannya, sebuah warung babi guling diserbu pengunjung yang lalu-lalang. Sebagian turun dari mobil masih mengenakan pakaian sembahyang, mungkin baru pulang dari pura dan hendak pulang ke Denpasar. Di antara keramaian itu, kami juga melihat beberapa wisatawan asing yang melintas.
Sambil duduk dan memperhatikan arus kendaraan, kami berbincang tentang rencana ke depan masing-masing, terutama tentang media online yang kami kelola. Kami sadar, media itu bukan hanya wadah idealisme, tetapi juga penopang hidup bagi keluarga kami.
“Wartawan seperti kita ini tidak punya pensiunan, Omku,” kata ES sambil menatap ke jalan. “Kita harus serius mengembangkan media kita.”
Kalimat itu membuat saya terdiam sejenak. Ia benar. Kata-kata sederhana yang menyinggung hal paling nyata dari profesi yang kami jalani. Saya teringat pernyataan wartawan senior, Apollonaris Daton, dalam sambutannya saat dilantik sebagai Ketua Perhimpunan Jurnalis Nusa Tenggara Timur (PENA NTT) pada akhir Mei lalu. Ia menyebut profesi wartawan itu gagah di luar, tapi lemah di dalam.
Apollonaris menjelaskan, jurnalis adalah profesi yang mulia karena mengungkapkan kebenaran berdasarkan fakta untuk membela kepentingan publik. Wartawan dikenal luas, dari pejabat hingga masyarakat kecil. Tapi ironisnya, banyak yang hidup tanpa jaminan keselamatan kerja, tanpa asuransi kesehatan, bahkan tanpa kepastian hari tua.
Padahal pekerjaan ini tak ringan. Tekanan datang dari tenggat waktu yang ketat, jam kerja tak tentu, dan medan liputan yang tak selalu ramah. Mereka yang bekerja di koran harian harus terbiasa begadang, bekerja malam, dan mengabaikan waktu istirahat. Kebiasaan itu pelan-pelan menumpuk menjadi kelelahan, terutama ketika usia mulai mendekati lima puluh.
Saya tahu banyak rekan yang akhirnya jatuh sakit dan kesulitan membayar biaya pengobatan. Anak-anak mereka masih sekolah, istri menanggung beban, dan satu-satunya harapan adalah solidaritas sesama wartawan. Kami mengulurkan tangan semampunya, menggalang donasi untuk membantu. Tapi semua tahu, itu tidak pernah cukup.
Apa yang diungkapkan Apollonaris adalah kenyataan yang pahit. Banyak wartawan lokal, juga kontributor media nasional, yang bekerja tanpa perlindungan apa pun. Ketika terjadi musibah, perusahaan hanya bisa berduka tanpa mampu berbuat banyak, meski selama ini mereka telah bekerja siang dan malam.
Saya juga teringat cerita dari Angga Wijaya, Kamis pagi lalu. Ia bercerita tentang seorang mantan wartawan yang dulu sangat produktif menulis, tapi kini hidup dalam keadaan memprihatinkan karena sakit. Ia beruntung masih sesekali mendapat pekerjaan membuat majalah dari seorang tokoh yang peduli.
Cerita itu membuat saya merenung. Saya pun sering merasa cemas membayangkan masa tua tanpa persiapan yang cukup. Tapi saya percaya, kekhawatiran tidak selalu buruk. Ia bisa menjadi tanda peringatan agar kita bersiap. “Podium Ecosystem adalah jawaban solusi dari kekhawatiran itu,” saya bilang kepada Angga. Sebuah upaya untuk menyiapkan masa depan yang lebih tenang, dengan mengembangkan usaha media dan beberapa lini yang saling terhubung.
Kembali ke percakapan dengan ES di kedai kopi siang itu, saya berkata pelan, “Saya tidak punya mimpi berlebih. Yang penting punya tabungan untuk hari tua, biaya kesehatan kalau sakit nanti, dan usaha kecil yang bisa tetap jalan.”
Saya berhenti sejenak sebelum menambahkan, “Saya ingin menghabiskan masa tua di kampung dengan tenang.”
ES mengangguk pelan. Di luar, lalu lintas masih ramai, kopi di meja hampir habis, dan hari terasa sedikit lebih tenang. Kami tahu, hidup sebagai wartawan bukan jalan menuju kaya. Tapi selama masih ada kata yang bisa ditulis, masih ada cara untuk bertahan.
Mungkin di situlah letak kehormatan profesi ini, bertahan dengan jujur, bekerja dengan hati, dan tetap menulis meski tanpa jaminan apa pun. (*)
Menot Sukadana