Ketika Berita Tak Lagi Dicari
SUATU masa, berita harus dicari dengan niat yang sederhana tapi tulus. Setiap pagi, koran datang bersama embun di teras rumah, membawa aroma kertas yang khas dan janji akan pengetahuan baru. Orang-orang menunggu radio berbunyi, mendengarkan suara yang menyiarkan kabar negeri dengan nada serius namun hangat. Ada keterlibatan batin di sana, semacam kebiasaan untuk membuka diri terhadap dunia, untuk mengetahui apa yang terjadi di luar batas rumah dan rutinitas. Mencari berita dulu bukan sekadar rutinitas, melainkan bagian dari rasa ingin tahu yang menjaga kesadaran manusia agar tetap hidup.
Kini masa itu terasa jauh tertinggal di belakang punggung waktu. Berita tidak lagi dicari dengan upaya, melainkan datang sendiri tanpa diundang. Ia muncul di layar ponsel, di sela tawa teman di media sosial, di antara video hiburan yang singkat dan memesona. Berita menyelinap ke ruang-ruang paling pribadi: kamar tidur, meja makan, perjalanan ke kantor. Ia datang dengan cepat, dalam jumlah banyak, hingga kita tak lagi mampu membedakan mana yang penting dan mana yang sekadar lewat. Kita tidak lagi membuka berita, tetapi disuguhi berita. Tidak lagi mencari, tetapi dijejali.
Pada titik itu, terjadi pergeseran yang mungkin tidak semua orang sadari: dari mencari kebenaran menjadi mengonsumsi kenyamanan. Kita ingin tahu, tapi tidak ingin gelisah. Kita ingin mendapatkan informasi, tapi enggan memeriksa kebenarannya. Akibatnya, berita kehilangan makna aslinya sebagai sarana berpikir. Ia menjadi semacam makanan cepat saji, mudah didapat, cepat dikonsumsi, dan segera dilupakan.
Zaman digital membawa kemudahan, tapi juga menimbulkan paradoks. Ketika informasi melimpah, perhatian justru menipis. Ketika akses terbuka, minat mendalam malah menurun. Berita yang dulu menjadi jalan menuju pemahaman kini lebih sering menjadi sumber kelelahan. Banyak orang berkata, “Saya sudah capek baca berita, isinya itu-itu saja, membuat cemas.” Maka mereka memilih menutup layar, bukan karena tidak peduli, tetapi karena merasa tidak sanggup lagi menghadapi kenyataan yang dihadirkan dengan begitu brutal, berulang, dan tanpa jeda.
Saya sering berpikir, barangkali yang kita butuhkan bukan lebih banyak berita, melainkan lebih banyak keheningan. Sebab dalam keheningan, kita bisa mendengar kembali apa yang sesungguhnya penting. Kita bisa memeriksa bagaimana perasaan kita terhadap kabar yang datang, apakah ia sekadar mengusik atau benar-benar mengubah cara kita memandang hidup.
Di Bali, perubahan ini terasa seperti pergeseran dari obrolan di bale banjar atau warung kopi ke grup pesan di layar ponsel. Dulu, kabar disampaikan dengan tatapan mata, dengan suara yang pelan dan penuh pertimbangan. Siapa pun yang membawa berita tahu bahwa kata-kata punya tanggung jawab. Sekarang, kabar berpindah lewat jempol, dikirim secepat kilat tanpa sempat direnungkan. Satu kalimat bisa menyebar ke ratusan orang dalam hitungan detik, tanpa ada yang benar-benar tahu sumbernya. Dalam dunia semacam itu, berita bukan lagi alat pemersatu, melainkan percikan kecil yang bisa memantik api salah paham.
Jurnalisme, yang semestinya berdiri di tengah sebagai penuntun arah, sering kali ikut terseret arus kecepatan. Tekanan untuk menjadi yang tercepat membuat ruang refleksi menyempit. Banyak media kini lebih takut terlambat daripada salah, lebih mengejar klik daripada makna. Padahal, jurnalisme yang sejati selalu tumbuh dari keberanian untuk berhenti sejenak, untuk memeriksa, menimbang, dan mengembalikan konteks di tengah hiruk pikuk informasi.
Saya pernah mendengar seorang editor senior berkata, “Berita itu ibarat jendela. Tugas kita memastikan jendelanya tetap jernih, agar orang bisa melihat dunia dengan jelas.” Namun kini, jendela itu sering kali buram, dipenuhi bayangan iklan, opini, dan kepentingan yang berseliweran. Masyarakat pun kebingungan, tak tahu harus percaya pada siapa. Dalam kebingungan itu, muncul sinisme terhadap media, terhadap wartawan, terhadap semua hal yang berlabel “berita”.
Padahal, masalahnya bukan pada berita itu sendiri, melainkan pada cara kita memperlakukannya. Berita kehilangan tempatnya dalam keseharian karena kita tidak lagi memberinya perhatian yang layak. Kita membaca sambil setengah berpikir, menonton sambil setengah sadar, membagikan sesuatu tanpa benar-benar tahu mengapa. Kecepatan membuat kita merasa produktif, padahal sering kali kita hanya berpindah dari satu hal ke hal lain tanpa sempat memahami apa pun secara utuh.
Kita lupa bahwa mencari berita adalah latihan berpikir. Ia melatih kesabaran, melatih rasa ingin tahu, melatih kemampuan membedakan antara apa yang penting dan apa yang tidak. Tanpa kebiasaan mencari, manusia kehilangan salah satu fungsi terpentingnya: kesadaran. Sebab hanya dengan kesadaranlah kita bisa mengenali apa yang benar, dan hanya dengan kebenaranlah kita bisa hidup dengan damai.
Mungkin sudah saatnya kita menengok kembali cara kita berhubungan dengan berita. Jangan hanya bertanya, “apa yang sedang terjadi?”, tapi juga, “mengapa hal ini penting bagi hidup saya dan orang lain?” Jangan hanya menunggu kabar, tapi belajar mencari makna di balik setiap kabar. Sebab pada akhirnya, yang kita cari bukan sekadar berita, melainkan pengertian.
Berita yang sejati tidak datang dari layar yang menyala, melainkan dari nurani yang masih peduli. Ia lahir dari kesediaan manusia untuk mendengar lebih dalam, bertanya lebih jujur, dan berpikir lebih panjang dari sekadar hari ini. Dalam dunia yang makin bising, jurnalisme yang tenang mungkin justru menjadi kemewahan terakhir yang bisa kita pertahankan.
Dan ketika suatu hari nanti, kita kembali membuka koran atau membaca berita dengan hati yang jernih, mungkin kita akan menyadari bahwa berita tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu kita belajar mencarinya kembali dengan sabar, dengan rasa ingin tahu, dan dengan keinginan untuk memahami dunia, bukan sekadar melaluinya. (*)
Menot Sukadana