Podiumnews.com / Kolom / Jeda

Survival Ala Darwin di Bawah Rezim Algoritma

Oleh Nyoman Sukadana • 02 November 2025 • 22:34:00 WITA

Survival Ala Darwin di Bawah Rezim Algoritma
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

SAYA selalu terpesona dengan cara Charles Darwin memandang hidup. Ia menulis bahwa yang mampu bertahan (survival) bukanlah yang paling kuat, melainkan yang paling bisa beradaptasi terhadap perubahan. Kalimat itu sederhana, tapi membawa saya pada banyak renungan. Dalam hidup, satu-satunya hal yang pasti hanyalah perubahan itu sendiri.

Teori itu sering terlintas di kepala saya, terutama ketika berbincang tentang dunia media digital. Dulu, dalam satu kesempatan berbicara dengan Nyoman Adi Irawan, Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Bali, saya mengutip teori Darwin itu sambil membahas bagaimana media online bergerak. Saya bilang, teori evolusi itu tidak hanya berlaku untuk makhluk hidup, tapi juga untuk dunia bisnis, terutama media digital yang setiap saat berubah tanpa bisa kita prediksi.

Di dunia ini, algoritma adalah kekuatan baru yang menentukan arah. Hari ini, media online harus tunduk pada “rezim algoritma” yang dikuasai perusahaan global seperti Google, Facebook, Instagram, atau TikTok. Kita tidak bisa melawannya. Tapi kita bisa belajar darinya, mencari celah, menemukan ceruk kecil yang belum tersentuh, dan tumbuh dari sana.

Topik ini kembali muncul dalam obrolan saya dengan Wahyu, tim IT dan media sosial PodiumNews. Kami bertemu di Rumah Makan Padang Simpang Ampek, Jalan Buluh Indah, Denpasar, Jumat malam di akhir Oktober. Dalam suasana santai itu, Wahyu menegaskan betapa cepatnya perubahan terjadi di dunia digital.

“Dulu sebelum Revolusi Industri, perubahan besar mungkin terjadi setiap seratus tahun sekali. Setelah itu sepuluh tahun sekali. Namun kini, di era industri digital, mungkin tiap bulan sudah berubah,” katanya serius.

Saya mengangguk pelan. Ia benar. Perubahan kini datang secepat kedipan mata. Karena itu, saya menjelaskan bahwa PodiumNews harus bersiap sejak dini, tidak hanya menyesuaikan diri secara teknis, tapi juga membangun sistem kerja dan model bisnis baru yang lebih tahan terhadap perubahan.

“Makanya, hampir setahun ini saya terus memikirkan konsep yang akan menjadi model bisnis PodiumNews,” kata saya, “yang saya sebut sebagai Podium Ecosystem, atau disingkat POST. Sebuah model bisnis hybrid O2O, Online to Offline, di bidang media.”

Saya menjelaskan kepada Wahyu bahwa rancangan Podium Ecosystem ini semacam Rencana Pembangunan Lima Tahun, Repelita ala Era Orde Baru. Sebuah peta jalan bertahap yang mengarahkan perkembangan media kami agar tidak tersesat dalam arus perubahan.

“Tahun 2025 ini saya targetkan sebagai fase pembangunan infrastruktur,” ujar saya, “mulai dari perubahan wajah dan penguatan SEO PodiumNews, membangun media gaya hidup UrbanBali, serta menata pengelolaan media sosial. Paling lambat April 2026, kita sudah bisa start on the road.”

Artinya, tahun ini menjadi fondasi digital. Tahun 2026 menjadi masa uji coba dan evaluasi. Lalu pada awal 2027, seluruh sistem akan diterapkan secara permanen. “Pertengahan 2027 kita mulai membangun infrastruktur offline,” lanjut saya, “dimulai dari renovasi kantor di Dalung agar lebih representatif sebagai kantor media. Setelah itu, pada 2028, saya ingin fokus membangun Kedai Kopi Redaksi di Mengwi.”

Soal modal, saya tidak menutupinya. Modal renovasi kantor sedang saya kumpulkan dari penjualan buku kumpulan esai Jeda yang sudah rampung dalam tiga draf trilogi. “Mudah-mudahan ada sedikit dana dari sana,” kata saya, “dan sisanya akan saya sisihkan dari keuntungan PodiumNews. Kalau model pengumpulan dana lewat penjualan buku berhasil, bisa juga dipakai nanti untuk membangun Kedai Kopi Redaksi. Saya bangun seadanya dulu.”

Saya mengakui kepada Wahyu bahwa semua ini baru rencana di atas kertas, disusun menyesuaikan kemampuan yang ada. “Saya juga tidak tahu bagaimana hasilnya nanti,” ucap saya. “Sebagai manusia, saya hanya bisa merencanakan dan berusaha sebaik mungkin.”

Namun saya percaya, satu hal penting sudah kami miliki: arah yang terukur dan langkah yang rasional. “Wahyu tentu masih ingat,” saya tersenyum, “waktu pertama mendirikan PodiumNews, uang yang ada cuma lima ratus ribu rupiah. Untuk bayar hosting saja kita masih harus utang berbulan-bulan.”

Kini, delapan tahun berlalu. PodiumNews sudah punya kantor kecil, tujuh karyawan, dan status terverifikasi Dewan Pers. Kami juga sedang menyiapkan enam lini usaha yang ditopang oleh aset fisik kantor di Dalung dan lahan dua belas are di Mengwi.

Mungkin, belum banyak media online kecil di Bali yang punya aset seperti itu. Dalam skala UMKM, ini langkah besar. Karena itu, saya selalu merasa bersyukur. Dari langkah sederhana, dari modal yang serba pas-pasan, kami bisa bertahan dan terus tumbuh.

Pada akhirnya, teori Darwin itu terasa makin nyata. Di bawah Rezim Algoritma, yang bertahan bukanlah yang paling besar, tapi yang paling mampu beradaptasi. Sama seperti hidup, keberlanjutan selalu dimulai dari kemampuan untuk menyesuaikan diri, bukan sekadar bertahan. (*)

Menot Sukadana