Podiumnews.com / Kolom / Editorial

Bali Mendesak Otonomi Asimetris

Oleh Nyoman Sukadana • 07 November 2025 • 00:11:00 WITA

Bali Mendesak Otonomi Asimetris
Editorial. (podiumnews)

BALI berada di persimpangan kritis. Wacana Otonomi Khusus (Otsus) yang bergulir sejak tahun 1999 bukan sekadar tuntutan politik sesaat, melainkan manifestasi kebutuhan mendesak untuk melindungi modal utama bangsa: budaya, adat, dan lingkungan Bali. Pergulatan ini menunjukkan kegagalan sistem otonomi daerah yang seragam untuk mengakomodasi kekhasan Bali, sebuah pulau yang menyandang beban ganda sebagai etalase pariwisata dunia sekaligus benteng tradisi.

Inti dari tuntutan ini, sebagaimana diungkapkan oleh pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie, adalah Otonomi Asimetris. Bali tidak meminta Otsus yang meniru Papua atau Aceh yang berbasis SDA atau konflik, melainkan Otsus yang berorientasi pada kultural dan ekologis. Kekhususan Bali terletak pada kekuatan Desa Adat dan Subak yang terintegrasi erat dengan agama dan kehidupan sosial. Memberikan kewenangan penuh kepada lembaga adat dan pengelolaan lingkungan adalah kunci agar Bali tidak runtuh di bawah tekanan pembangunan.

I Dewa Gede Palguna, Ahli Hukum Tata Negara dan Mantan Hakim Konstitusi, secara konsisten menekankan bahwa Otsus diperlukan untuk menjadikan Desa Adat sebagai subjek hukum otonom yang mampu membuat regulasi dan mengelola dana sendiri. Tanpa kekuatan hukum yang memadai, kearifan lokal akan terus tergilas oleh kepentingan investasi. Hal ini memicu masalah seperti alih fungsi lahan masif dan degradasi lingkungan yang ironisnya menjadi penyebab banjir di Denpasar dan sekitarnya. Kekhususan harus diterjemahkan menjadi perlindungan hukum yang radikal dan terperinci.

Dari segi ekonomi, Ekonom senior Faisal Basri menyoroti ketidakadilan fiskal. Bali menanggung biaya kerusakan lingkungan akibat pariwisata yang masif, sementara porsi bagi hasil dari Pajak Hotel dan Restoran (PHR) atau PPN pariwisata yang ditarik pemerintah pusat dianggap tidak memadai. Bali memerlukan skema dana khusus non SDA yang unik, didasarkan pada persentase PAD jasa pariwisata, yang memungkinkan daerah menyeimbangkan pembangunan antara wilayah selatan yang kaya dan wilayah utara atau timur yang tertinggal. Kewenangan fiskal yang lebih besar adalah prasyarat untuk pembangunan berkelanjutan.

Pemerintah memang telah merespons melalui Undang Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali. UU ini telah mengakui Desa Adat dan Subak. Namun, bagi sebagian pihak, UU ini hanyalah kompromi politik yang masih tergolong otonomi biasa dengan branding khas Bali. UU 15 2023 belum memberikan keleluasaan fiskal dan regulasi yang sepadan dengan beban dan aset yang dimiliki Bali. Selama Bali tidak memiliki kontrol mutlak atas dana pariwisata dan regulasi tata ruang yang ketat, ancaman betonasi dan degradasi lingkungan akan terus mengintai.

Bali perlu membuktikan bahwa UU baru ini memiliki gigi untuk menertibkan tata ruang dan memastikan bahwa pembangunan fisik tidak menggerus warisan budaya demi tujuan ekonomi sesaat. Sudah saatnya negara mengakui kekhususan Bali secara paripurna sebelum aset budaya ini tinggal kenangan. (*)